-->

Covid Mengganas : Kegagalan Kapitalisme Atasi Pandemi


Sudah lebih dari setahun pandemi corona atau covid-19 melanda Indonesia. Namun, sampai detik ini tidak ada tanda-tanda menggembirakan bahwa pandemi ini akan segera berakhir. Sejak pertama kali adanya pasien terkonfirmasi positif covid-19 di Indonesia, yaitu pada Maret 2020, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi pandemi ini. Sayangnya, sejak awal, telah nampak bahwa pemerintah tidak begitu serius menanggapi pandemi ini. Segala upaya yang dilakukan terkesan setengah hati dan plin plan. Alhasil, hingga saat ini covid-19 terus menyebar masif diseluruh penjuru Indonesia dan semakin sulit dikendalikan. 


Ditengah harapan masyarakat akan segera usainya pandemi ini, ternyata virus covid-19 semakin mengganas. Bukannya menurun, kasus pasien covid justru semakin melonjak. Berdasarkan data kasus harian dari Satgas Covid-19, pada 15 Mei 2021, angka penambahan kasus Covid-19 yaitu 2.385 kasus. Kemudian, kasus perlahan meningkat dan semakin meningkat tajam. Tercatat, pada 15 Juni 2021 ada 8.161 kasus harian, 16 Juni 2021 dilaporkan 9.944 kasus, dan pada17 Juni 2021 sebanyak 12.624 kasus (kompas.com, 19/06/2021).


Selain melonjaknya jumlah kasus Covid-19, yang menjadi sorotan adalah Bed Occupation Rate (BOR), yaitu tingkat keterisian rumah sakit, yang sudah hampir penuh di berbagai daerah di Indonesia. Terutama di pulau Jawa, diantaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mengungkapkan, saat ini kondisi rumah sakit di Indonesia, utamanya di pulau Jawa, sudah nyaris penuh. Kondisi ini menyebabkan nyaris kolaps-nya pelayanan di fasiltas layanan kesehatan. Beberapa RS dan puskesmas melaporkan peningkatan pasien yang tinggi dalam beberapa hari terakhir, bahkan di Jawa tengah, tepatnya di RSUD Lukman Hadi, Kabupaten Kudus, sejumlah pasien Covid-19 terpaksa mengantre di halaman sebelum mendapat penanganan dan perawatan. Antrian itu disebabkan ruang instalasi gawat darurat (IGD) penuh. 


Kondisi mengkhawatirkan ini, pasti bertolak belakang dengan harapan masyarakat Indonesia. Meski telah digalakkan program vaksin, ternyata program ini tidak memberikan hasil yang signifikan dalam menekan penyebaran covid. Jika kita lihat dari segi penanganan oleh pemerintah, kondisi ini sebenarnya tidak begitu mengherankan. Sejak awal pemerintah tidak mengambil langkah yang tegas dalam menangani covid. Sejak adanya konfirmasi positif, pemerintah masih saja membuka lebar jalan masuk bagi WNA yang bisa membawa virus corona masuk ke Indonesia. Bahkan, masuknya WNA asal China, yang merupakan tempat asal virus ini pun tidak dicegah. Pemerintah seolah meremehkan persoalan yang sangat penting ini. Persoalan yang menyangkut kesehatan dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia. 


Setelah beberapa hari sejak kasus pertama, pemerintah DKI Jakarta dengan berkoordinasi dengan pemerintah pusat, baru melakukan lockdown wilayah, namun langkah itu terbilang sudah terlambat. Masa krusial dimana penularan covid bisa dihentikan telah lewat. Virus corona telah terlanjur masuk ke Indonesia dan menyebar ke berbagai daerah. Hingga sekarang, kebijakan-kebijakan pencegahan terus dilakukan, seperti mewajibkan masyarakat menggunakan masker, membubarkan kerumunan, penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), pelarangan mudik, penutupan sekolah dan kebijakan-kebijakan lainnya. Sayangnya semua kebijakan itu tidak dilaksanakan dengan maksimal sehingga tidak bisa menuntaskan pandemi hingga saat ini. 


Pasalnya, kebijakan pemerintah yang setengah hati ini disebabkan dilema terhadap kelangsungan sektor ekonomi. Penerapan PSBB memang membuat pasar lesu, kegiatan ekonomi masyarakat hampir lumpuh. Kekhawatiran runtuhnya ekonomi negara tak terelakkan lagi. Namun, disinilah sesungguhnya peran negara sangat diperlukan. Pertimbangan ekonomi seharusnya tidak mengalahkan pertimbangan kesehatan dan keselamatan rakyat. Karena ekonomi ada untuk masyarakat, bukan sebaliknya, masyarakat ada untuk ekonomi. Dalam situasi tak terduga seperti ini, pemerintah seharusnya siap dengan segala resiko. Pemberlakuan lockdown seharusnya dilakukan tegas dengan mengganti pendapatan masyarakat yang hilang. Kebutuhan pokok masyarakat dipenuhi selama masa lockdown, sehingga tidak ada masyarakat yang melanggar aturan karena harus mencari nafkah. Apapun alasannya, inilah yang harusnya dilakukan pemerintah sejak awal. Bukan seperti sekarang yang justru membuat pandemi berlarut-larut. Biaya yang harus dikeluarkan pemerintah semakin banyak. Beban materi dan psikologis masyarakat pun semakin berat. 


Sistem kapitalisme, dimana segala sesuatunya bertumpu pada ekonomi dan pemilik modal, mustahil dapat menuntaskan pandemi covid-19 dengan cepat. Sistem ini nyata-nyata telah gagal dan membuat rakyat makin sengsara. Rakyat ekonomi menengah kebawah terpuruk tak berdaya. Belum lagi di sektor pendidikan, tidak segera dibukanya sekolah, berpotensi menurunkan kwalitas peserta didik. Krisis multi dimensi mulai melanda bangsa ini. Kapitalisme sekuler yang tidak mengutamakan nyawa manusia, harus diganti dengan sistem lain. 


Satu-satunya sistem yang mampu menyelesaikan permasalahan pandemi adalah sistem islam. Dalam Islam, nyawa manusia adalah prioritas yang harus diutamakan. Sistem pemerintahan islam tidak akan segan menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, ketika harus dilakukan lockdown. Dalam desain sistem Islam yang aturannya tak sebatas mengatur prihal ibadah saja namun aturan yang dibuat oleh Sang Maha Pencipta lengkap, sempurna dan komplek termasuk diantaranya mengatur ekonomi. Ekonomi dalam sistem Islam dibangun dengan standar ekonomi baitulmal, semua pemasukan terdiri dari beberapa pos diantaranya sumber daya alam. Segala jenis SDA mulai dari hasil lautan, daratan dan lainnya akan dikelola dan diatur oleh negara langsung. Penghasilan dari SDA tersebut akan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat dan dikelola sesuai syariat Islam termasuk untuk memulihkan ekonomi disaat terjadi pandemi, dengan  demikian permasalahan pandemi dapat diselesaikan dengan cepat. Wallahu’alam bis'shawab. 

Penulis : Dinda Kusuma W T (Aktivis Muslimah Jember)