-->

SWF-INA, Solusi atau Ilusi?

Oleh : Dwi Nesa Maulani (Komunitas Pena Cendikia)

Pemerintah resmi mendirikan lembaga khusus pengelola investasi dana abadi atau Sovoreign Wealth Fund (SWF), yang diberi nama Indonesia Investment Authority (INA). SWF-INA bertujuan untuk memperoleh sumber pendapatan lain demi pembangunan nasional seperti pembangunan proyek infrastruktur. Selama ini Indonesia mengandalkan sumber pendapatan dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), hibah, dan utang. 

Payung hukum pembentukan SWF-INA adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Secara spesifik diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan PP No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.

Jika umumnya SWF di negara lain dananya dari cadangan devisa atau surplus neraca berjalan, lain lagi di Indonesia. Meskipun tidak terjadi surplus, negara berani membentuk SWF. Sebagai modal awal pemerintahan menyuntikkan dana sebesar Rp 15 triliyun dari APBN dan Rp 50 triliyun dari saham-saham BUMN. INA akan menggaet para investor baik dalam maupun luar negeri. INA berposisi mirip investment banking, mengelola dana nasabah agar bisa memperoleh keuntungan bersama. Kalaupun rugi juga ditanggung bersama.

Pembentukan INA digadang-gadang sebagai solusi atas problem finansial negara. Meskipun demikian, ada beberapa kekhawatiran yang perlu kita perhatikan, diantaranya:

Pertama, jika negara tidak melihat sikap politik negara investor maka bisa saja terjadi hegemoni negara lain atas Indonesia. Negara lain bisa menjadikan investasi sebagai alat untuk menguasai sumber daya alam, pasar, bahan baku, dan tenaga kerja. Bahkan mudah bagi investor untuk mengontrol kebijakan yang diambil negara. Contoh yang sudah terjadi investor mendorong pemerintah untuk membuka investasi produk miras. Investasi sama beracunnya seperti utang. Sama-sama menjerat. Tentu hal ini jangan sampai terjadi. Jangan sampai Indonesia menjadi negara merdeka yang terjajah.

Kedua, dana investasi yang diputar di sektor non riil seperti jual beli surat berharga saham, obligasi, maupun lainnya memiliki resiko keguncangan secara siklik. Artinya sektor non riil menyebabkan krisis secara berkala setiap 5-10 tahun sekali. Dr. Thahir Abdul Musim menyebut bahwa krisis ekonomi dalam sistem kapitalisme adalah bersifat siklik. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanyalah putaran menuju puncak untuk kemudian jatuh ke lembah krisis kembali.

Akar masalahnya yaitu sistem ekonomi kapitalisme pada sektor non riil mempraktekkan perjudian dan identik dengan spekulasi. Selain itu, disfungsi uang yang tidak hanya sebagai alat tukar saja, melainkan juga menjadi komoditi yang diperdagangkan kemudian ditarik bunga (riba) pada setiap transaksi.

Keguncangan di sektor non riil akan menyebabkan krisis finansial. Berbuntut pada ambruknya korporasi-korporasi besar. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada suatu negara jika pemasukannya bertumpu pada sektor ini.

Ketiga, sangat memungkinkan terjadi korupsi di tubuh INA. Presiden Jokowi sendiri secara tidak langsung mengakui ada potensi korupsi. Maka beliau mewanti-wanti agar INA tidak senasib dengan 1MDB, SWF Malaysia yang terlibat skandal yang dinilai merugikan negara lebih dari Rp100 triliun. Kasus megakorupsi itu melibatkan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.(bisnis.com, 16/2/2021)

Sudah bukan rahasia lagi bahwa tindak korupsi di negeri ini membudaya. Pemahaman sekulerisme yang merasuki pemikiran anak bangsa menjadikan mereka tidak takut kepada Allah SWT. Tidak lagi menjadikan halal haram sebagai tolok ukur perbuatan. Apalagi jika manusia dikelilingi oleh godaan uang berlimpah. Hilang sudah kewarasan.

Begitu banyak mudharat yang bersumber dari investasi. Semestinya opsi ini tidak dijalani negara. Lalu bagaimana agar Indonesia mempunyai dana demi pembangunan? Jangan lagi melirik pada solusi yang ditawarkan sistem ekonomi kapitalisme. Karena jelas solusinya hanya ilusi. Bahkan akan memunculkan permasalahan baru.

Ekonomi kapitalisme memandang permodalan sebagai faktor penting produksi yang merupakan ujung tombak perekonomian. Sedangkan utang dan investasi senantiasa dijadikan solusi permodalan. Yang pada akhirnya pemilik modal atau kapital lah yang menguasai SDA dan yang menikmati manfaat ekonomi.

Sungguh bertolak belakang dengan sistem ekonomi Islam. Islam melarang investasi ribawi dan mengandung unsur judi. Dana untuk pembangunan diperoleh dari Baitul Mal. Dalil pembentukan Baitul Mal yaitu firman Allah SWT :

"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya), maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.”
(TQS Al Anfal:1)

Baitul Mal memiliki tiga pos pendapatan, yaitu pos fa'i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos shodaqoh. Pos fa'i dan kharaj meliputi ghonimah, jizyah, kharaj, tanah milik negara dan sebagainya. Pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas,  batubara, perikanan, perhutanan, dan lain sebagainya. Sedangkan pos shodaqoh meliputi zakat untuk delapan asnaf saja.

Pos fa'i dan kharaj bisa diisi salah satunya dengan melakukan dakwah dan jihad sebagaiman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Harta milik umum sepenuhnya dikelola oleh negara tidak diserahkan kepada swasta dan asing.

Dari sini saja keuangan Baitul Mal akan kuat. Baik untuk pembiayaan pembangunan maupun untuk kesejahteraan rakyat. Hal itu akan terwujud jika negara bersungguh-sungguh mengelola sumber-sumber pendapatan dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh.