-->

Bukan Tak Ingin SaMaRa

Oleh : Ummu Tsabita Nur

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antaramu kecintaan dan kasih sayang.” (TQS . Ar Rum :  21)

Siapapun  pasti inginkan pernikahan sakinah, mawaddah wa rahmah alias SaMaRa.  Namun kenyataan kadang berkata lain,  indahnya harapan tak kunjung nyata

Ketika tiada ketenangan dan kebahagiaan , yang dirasa hanyalah beragam masalah yang menggunung. Cekcok dan debat panas yang berujung kata cerai. Duh.

Sungguh miris, semenjak pandemi tahun lalu peningkatan angka perceraian sangat signifikan.  Di Kabupaten Banjar Kalsel misalnya, selama tahun 2020 lalu Pengadilan Agama Martapura kelas 1B sudah menerima perkara cerai sebanyak 1.227 kasus. Terdiri dari 636 cerai gugatan dan 174 cerai talak. Bayangkan saja angkanya !

Secara umum banyak rumah tangga terdampak wabah. Menurut hasil survei daring BKKBN terhadap lebih dari 20.000 keluarga, 95% keluarga dilaporkan stres. Akibat pandemi dan pembatasan sosial (PSBB). (kanalkalimantan.com)

Berdasarkan info pengadilan agama, pemicu cerai terbanyak adalah faktor ekonomi. Faktor ini bisa memicu masalah-masalah ikutan. Ujungnya stres dan emosi yang tak terkendali.

Bisa dibayangkan ya, suami jobless karena PHK.  Pengurangan karyawan atau pabrik banyak yang tutup.  Dagang pun sepi karena masyarakat menahan hasrat belanja. Sedang anak dan istri di rumah tetap wajib dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 

Ibu akhirnya ikut terjun ke dunia kerja.  Beban ganda, domestik dan publik. Apalagi anak pun harus dibimbing belajar daring pula.  Bikin stres tingkat tinggi.

Kurang-kurang sabar, istri  mengeluh saban hari. Suamipun bisa saja 'ringan tangan'  mendengar 'nyanyian'-nya. Anak ikut tertekan, lebih jauh lagi jadi tak betah di rumah.

Kurang-kurang syukur,  saat ini yang terlihat cuma kekurangan pasangannya.  Hilang sudah sifat rahmah yang  dulu menghiasi pernikahan. 

Lalu mesti bagaimana? Menyalahkan orang bercerai tentu tak menuntaskan masalahnya. Menyuruh sabar dan tawakal saja apakah bisa diterima? Sedang kebutuhan perut tak bisa ditunda. Apalagi syariat pun tak melarang bagi istri -yang tak dinafkahi secara baik- untuk minta cerai. 

“Maka rujukilah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik juga.”(TQS At-Thalaq: 2).

Cuma kalau data cerai sangat tinggi bagaimana nasib anak- anak dari sejumlah keluarga tsb ? Bukankan kasus kenakalan anak, pergaulan bebas, kriminalitas pada remaja  sedikit banyak disumbang faktor broken home ?

Islam Kaffah : Kebutuhan mendesak

Sungguh semua bermula dari sistem kapitalisme sekuler yang menggurita di negri muslim ini.  Paham  materialistik yang meracuni umat membuat kehidupan berasa tak nyaman. Serba kurang dan tak berkah.

Hidup jadi jauh dari suasana iman, yang menyuburkani sikap tawakkal , qonaah dan sabar. Yang ada hanyalah mengejar materi. Makna bahagia pun ukurannya cuma mendapatkan kepuasan jasadi. Kalau tak punya uang, berarti tak bahagia.

Bahkan mengadu kepada penguasa pun, seperti tak ada guna. Lagipula apa mereka perduli ?

Lihat kebijakan yang ada.  Tak menuntaskan problem ekonomi yang berpotensi merusak biduk rumah tangga. Sekalinya ada bansos dan kartu pra kerja, justru korupsi para pejabatnya.  Kalaupun sampai ke tangan warga itu pun sementara saja. 

Jadi, tingginya perceraian hanya jadi seonggok angka, yang tak bermakna. Mana upaya serius mencegah dan memperbaikinya? Cuma sebatas mediasi dan nasehat pernikahan, cukupkah saudara?

Sungguh masyarakat perlu sebuah sistem yang kondusif bagi terbentuknya keluarga samara yaitu sistem Islam. Sistem ini  menjamin para suami atau ayah bisa mendapatkan nafkah bagi keluarganya.  Negara pun wajib menyediakan lapangan kerja yang memadai.

Beban ekonomi keluarga pun takkan seberat hari ini. Karena masalah kesehatan dan pendidikan ditanggung negara. Bebas biaya. Tak perlu bayar premi , spp, dsb.

Ketika penafkahan sudah tak mampu ditopang oleh kepala keluarga (misal karena cacat )  maka kerabat wajib membantunya. Jika kerabat pun sama kondisinya, maka berpindahlah tugas penjaminan kebutuhan pokok keluarga ini kepada negara secara langsung. 

Rasulullah Saw. bersabda :

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai tanggung jawab atas rakyatnya (gembalaannya)"
(HR. Al Bukhari)

Itu baru sisi penafkahan lho ya. Tentu kebayang kalau Islam diterapkan secara menyeluruh dan paripurna. Mengatur semua aspek kehidupan. Maka keberkahan akan niscaya. Samara tentu bukan cuma ada di asa, tapi nyata wujudnya. In syaa Allah.