-->

Abad Khilafah Dinanti Untuk Atasi Pandemi

Oleh: Dewi Tisnawati, S. Sos. I (Pemerhati Sosial)

Penamabda.com - Saat ini umat manusia dihadapkan pada sebuah virus yang tidak terlihat yakni Covid 19. Namun, membuat seisi bumi takut. Semua kekuatan, senjata, dan kesombongan bertekuk lutut dan lumpuh di hadapan kekuasaan Allah SWT.

Memang begitulah sunatullahnya, Allah SWT menghancurkan tingginya kesombongan dunia dengan sesuatu yang kecil agar runtuh dengan sehina-hinanya, seperti Namrud yang mati hina karena seekor lalat. 

Masalah ini adalah masalah umat secara umum termasuk umat muslim. Apalagi ini bukan dari akhir pandemi Covid 19 meski telah berlangsung hingga hampir satu tahun. Bagaimana mengatasiniya agar tidak bertambah parah dan bahkan bisa dimusnahkan.

Dilansir dari JENEWA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, pandemi Covid-19 tidak akan menjadi pandemi terakhir. WHO juga menuturkan upaya untuk meningkatkan kesehatan manusia "ditakdirkan" tanpa mengatasi perubahan iklim dan kesejahteraan hewan.

Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengutuk siklus "berpandangan sempit dan berbahaya" dari membuang uang tunai pada wabah, tetapi tidak melakukan apa pun untuk mempersiapkan kemungkinan pandemi berikutnya.

Dia mengatakan, sudah waktunya untuk belajar dari pandemi Covid-19. "Sudah terlalu lama, dunia telah beroperasi dalam siklus kepanikan dan pengabaian," katanya, seperti dilansir Channel News Asia pada Minggu (27/12/2020).

Varian baru ini muncul karena tidak segera ada karantina virus. Adapun pernyataan WHO adalah pengakuan kegagalan sistem sekuler menghentikan sebaran virus. Maka, saat ini dibutuhkan sebuah sistem yang telah terbukti dalam sejarah mampu mengatasinya, yakni sitem Islam yang dikenal dengan khilafah.

Islam telah memberikan anjuran untuk mengatasi penyebaran penyakit. Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab juga mengalaminya. Pada tahun 18 H, hari itu Khalifah Umar bin Khattab ra bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam. Mereka berhenti di daerah perbatasan sebelum memasuki Syam karena mendengar ada wabah Tha'un Amwas yang melanda negeri tersebut. Sebuah penyakit menular, benjolan diseluruh tubuh yang akhirnya pecah dan mengakibatkan pendarahan.

Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang yang dikagumi Umar ra, sang Gubernur Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan. Dialog yang hangat antar para sahabat pun terjadi, apakah mereka masuk atau pulang ke Madinah.

Umar yang cerdas meminta saran kepada kaum Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang ikut Fathu Makkah. Mereka semua berbeda pendapat. Bahkan Abu Ubaidah ra menginginkan mereka masuk, dan berkata mengapa engkau lari dari takdir Allah SWT?

Lalu Umar ra menyanggahnya dan bertanya. "Jika kamu punya kambing dan ada dua lahan yang subur dan yang kering, kemana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah. Sesungguhnya dengan kami pulang, kita hanya berpindah dari takdir satu ke takdir yg lain."

Akhirnya perbedaan itu berakhir ketika Abdurrahman bin Auf ra mengucapkan hadist Rasulullah SAW; "Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya." (HR. Bukhari & Muslim)

Akhirnya mereka pun pulang ke Madinah. Umar ra merasa tidak kuasa meninggalkan sahabat yang dikaguminya, Abu Ubaidah ra. Beliau pun menulis surat untuk mengajaknya ke Madinah. Namun beliau adalah Abu Ubaidah ra, yang hidup bersama rakyatnya dan mati bersama rakyatnya. Umar ra pun menangis membaca surat balasan itu.

Dan bertambah tangisnya ketika mendengar Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Suhail bin Amr, dan sahabat-sahabat mulia lainnya radiyallahuanhum wafat karena wabah Tha'un di Negeri Syam. Total sekitar 20 ribu orang wafat karena wabah Tha'un yang jumlahnya hampir separuh penduduk Syam ketika itu.

Pada akhirnya, wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Karena kecerdasan beliaulah yang menyelamatkan Syam. Hasil tadabbur beliau dan kedekatan dengan alam ini. Amr bin Ash berkata: "Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung."

Mereka pun berpencar dan menempati di gunung-gunung. Akhirnya, wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang dibakar. Lalu, belajar dari bagaimana orang-orang terbaik itu bersikap, maka inilah panduan dan kabar gembira di tengah kesedihan ini untuk kita semua.

Pertama, karantina sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas, maka itulah konsep karantina yang hari ini kita kenal. Mengisolasi daerah yang terkena wabah dan saat ini seluruh negara menjalaninya. Namun ada negara yang entah darimana mengambil petunjuknya, justru negara tersebut malah menyuruh orang-orang masuk karena dalih ekonomi dan pariwisata. Semoga Allah SWT melindungi semua penduduk negara tersebut.

Kedua, bersabar. Rasulullah SAW bersabda: "Tha'un merupakan azab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum mukminin. Maka, tidaklah seorang hamba yang dilanda wabah lalu ia menetap di kampungnya dengan penuh kesabaran dan mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang Allah SWT tetapkan, baginya pahala orang yang mati syahid." (HR. Bukhari dan Ahmad).

Ketiga, berbaik sangka dan berikhtiarlah. Karena Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya." (HR. Bukhari). 

Keempat, banyak berdoa meminta keselamatan sebagaimana yang lafadzkan di setiap pagi dan sore: "Bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihi, say'un fil ardhi walafissamaai wahuwa samiul'alim": (Dengan nama Allah yang apabila disebut, segala sesuatu dibumi dan langit tidak berbahaya. Dialah maha mendengar dan maha mengetahui). Barang siapa yang membaca dzikir tersebut 3 kali pada pagi dan petang. Maka tidak akan ada bahaya yang memudharatkannya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).


Kelima, sebagaimana solusi dari Amr bin Ash untuk berpencar dan menjaga jarak dari keramaian dan menahan diri untuk tetap di rumah. Cara inilah yang banyak ditiru dunia luar, mereka menyebutnya social distancing. 

Semua solusi itu sudah ada, solusi langit dan bumi. Tinggal sistemnya yang dinanti yakni abad khilafah untuk atasi pandemi. Kihlafah dengan sistem Islam yang diterapkan akan mampu mengatasi semua permasalahan dalam hidup termasuk pandemi. Wallahu a'lam bish shawab.