-->

Hakikat Bersyukur

Oleh : Aya Ummu Najwa

Penamabda.com - Allah Subhanahu Wata'ala telah berfirman;

وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ (34) لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلَا يَشْكُرُونَ (35)

“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? ” (QS. Yasin: 34-35)

Ayat ini telah menjelaskan, bahwa Allah telah menjadikan di bawah pohon-pohon kurma dan anggur pancaran mata air, supaya mereka bisa menyantap makanan dan buah yang dihasilkan. Semua hasil itu bisa diperoleh karena nikmat dari Allah, Allah yang mengadakan, Allah yang memberikan rezeki yang seharusnya membuat manusia semakin bersyukur kepada-Nya.

Ada dua makna, “dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka” yaitu:

Makanan dan buah-buahan itu mereka usahakan dan mereka tanam. Harusnya disyukuri karena Allah telah memudahkan manusia untuk mendapatkan hasilnya. Kata “maa” di sini bermakna isim maushul yang berarti “yang”. Makanan dan buah-buahan itu tidak diusahakan oleh tangan mereka begitu saja, namun Allah yang mengizinkan makanan dan buah-buahan itu ada. Kata “maa” dalam ayat punya makna nafiyah berarti “tidak”. Lihat At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juzu Yasin. Hlm. 60.

Ibnu ‘Abbas dan Qatadah menyatakan bahwa semuanya itu dari rahmat Allah, bukan dari usaha, kekuatan, dan kerja keras manusia semata. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:339.

Pelajaran yang dapat di ambil dari ayat ini adalah, manusia diberikan makanan dan buah-buahan semata-mata karena karunia Allah. Karena manusia jika bersatu mengeluarkan satu biji-bijian saja, ia tentu tidak bisa dan tidak mampu untuk mengeluarkannya. Mendapatkan makanan dan buah-buahan adalah nikmat dari Allah.
Manusia wajib bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.

Syukur yang tepat, bukan hanya pandai mengucapkan alhamdulillah. Sudah semestinya, syukur itu diwujudkan dalam amalan.

Mari perhatikan pengibaratan rasa syukur yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,

الشُّكْرُ يَكُوْنُ : بِالقَلْبِ : خُضُوْعاً وَاسْتِكَانَةً ، وَبِاللِّسَانِ : ثَنَاءً وَاعْتِرَافاً ، وَبِالجَوَارِحِ : طَاعَةً وَانْقِيَاداً .

“Syukur itu dengan hati, dengan tunduk dan merasa tenang. Syukur itu dengan lisan, dengan memuji dan mengakui. Syukur itu dengan anggota badan, yaitu dengan taat dan patuh pada Allah.” (Madarij As-Salikin, 2:246)

Seorang yang dikenal zuhud di masa silam, yaitu Abu Hazim berkata,

وَأَمَّا مَنْ شَكَرَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَشْكُرْ بِجَمِيْعِ أَعْضَائِهِ : فَمَثَلُه كَمِثْلِ رَجُلٍ لَهُ كِسَاءٌ فَأَخَذَ بِطَرْفِهِ ، فَلَمْ يَلْبَسْهُ ، فَلَمْ يَنْفَعْهُ ذَلِكَ مِنَ البَرَدِ ، وَالحَرِّ ، وَالثَّلْجِ ، وَالمطَرِ

“Siapa saja yang bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan anggota badan lainnya, itu seperti seseorang yang mengenakan pakaian. Ia ambil ujung pakaian saja, tidak ia kenakan seluruhnya. Maka pakaian tersebut tidaklah manfaat untuknya untuk melindungi dirinya dari dingin, panas, salju dan hujan.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:84)

Bersyukur Berarti Meninggalkan Maksiat

Rasa syukur akan terus menambah nikmat dan membuat nikmat itu terus ada. Hakekat syukur adalah melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat.

Mukhallad bin Al-Husain mengatakan,

الشُّكْرُ تَرْكُ المعَاصِي

“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.” (‘Iddah Ash-Shabirin, hlm. 159)

Ibnu Abid Dunya menyebutkan hadits dari ‘Abdullah bin Shalih, ia berkata bahwa telah menceritakan padanya Abu Zuhair Yahya bin ‘Athorid Al-Qurasyiy, dari bapaknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَرْزُقُ اللهُ عَبْدًا الشُّكْرَ فَيَحْرُمُهُ الزِّيَادَة

“Allah tidak mengaruniakan syukur pada hamba dan sulit sekali ia mendapatkan tambahan nikmat setelah itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Jika kalian mau bersyukur, maka Aku sungguh akan menambah nikmat bagi kalian.” (QS. Ibrahim: 7) (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, 4:124)

Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah memberi nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Jika seseorang tidak mensyukurinya, maka nikmat tersebut akan berbalik jadi siksa.”

Ibnul Qayyim berkata, “Oleh karenanya orang yang bersyukur disebut hafizh (orang yang menjaga nikmat). Karena ia benar-benar mensyukuri nikmat itu terus ada dan menjaganya agar tidak sampai hilang.” (‘Iddah Ash-Shabirin, hlm. 148)

Tapi ada kalanya Nikmat Menjadi Musibah.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ.

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:82)
Karena sejatinya nikmat itu harusnya menjadi jalan kita untuk lebih dekat kepada pencipta kita.

Ada empat keutamaan bersyukur.

Bersyukur kepada Allah atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya merupakan kewajiban bagi setiap hamba. Orang yang pandai bersyukur kepada Allah akan mendapatkan banyak keutamaan dan manfaat di dunia dan akhirat, diantaranya:

1. Mendapatkan tambahan nikmat dari Allah. 

Allah ta’ala berfirman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ

_“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu”._ (QS. Ibrahim: 7)

2. Selamat dari siksaan Allah.

Allah ta’ala berfirman:

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

_“Tidaklah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman. dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.”_ (QS. An Nisaa’ : 147)

Yang dimaksud Allah mensyukuri hamba-hamba-Nya ialah Allah memberi pahala terhadap amal-amal hamba-hamba-Nya, mema’afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya.

3. Mendapatkan pahala yang besar. 

Allah ta’ala berfirman:

وَسَيَجْزِ اللهُ الشَاكِرِيْنَ

_“Dan Allah akan memberi ganjaran pahala bagi orang-orang yang bersyukur ”_. (QS. Ali ‘Imran: 144)

4. Melihat kepada orang-orang yang derajatnya dibawah kita dalam urusan dunia.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

_“Lihatlah kepada orang yang berada dibawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau melihat kepada orang yang berada diatasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”_ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dengan senantiasa melihat orang-orang yang berada di bawah kita dalam hal harta dunia, akan menjadikan kita bersyukur betapa Allah telah memberikan kepada kita begitu banyak karunia dan rahmat-Nya. Dari sini kita akan lebih berhati-hati dalam menyikapi musibah yang menimpa dengan tidak mengeluh dan kecewa hanya karena dunia.

Wallahu a'lam