-->

Pengaruh Pandemi Covid-19 Terhadap Ketahanan Keluarga

Oleh: Vita Fatimah (Ibu Rumah Tangga)

Penamabda.com - Hingga saat ini penyebaran covid 19 terus meluas. Korban meninggal masih menunjukkan tren exponsional. Selain tingginya korban meninggal, wabah ini membawa dampak politik dan ekonomi yang semakin buruk.
Sektor ekonomi telah terpukul hebat akibat covid 19 ini, termasuk ancaman terhadap ketahanan keluarga. PHK besar-besaraan terjadi di Indonesia, terutama di kota-kota industri seperti, Jakarta, Cikarang, Bandung, Surabaya dll. 

Pandemi virus corona mengakibatkan dampak serius di sektor ketenagakerjaan Indonesia. Selama pandemi terjadi, tercatat 1.792.108 juta buruh di Indonesia dirumahkan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka 1,79 juta pekerja tersebut sesuai dengan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI yang diperbaharui hingga 27 Mei 2020. Sementara perinciannya adalah, sebanyak 1.058.284 pekerja sektor formal dirumahkan pada saat terjadi pandemi corona, hingga 27 Mei 2020. 

Adapun pekerja sektor formal yang terkena PHK pada kurun waktu yang sama sebanyak 380.221 orang. Selain itu, ada sebanyak 34.179 calon pekerja migran yang gagal diberangkatkan serta 465 pemagang yang dipulangkan.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah berharap penerapan New Normal atau kenormalan baru di masa pandemi dapat memulihkan roda ekonomi. Dengan begitu, banyak perusahaan bisa kembali mempekerjakan para buruh yang selama ini dirumahkan atau kena PHK.

Meskipun demikian, Ida memperingatkan pengoperasian kembali aktivitas perusahaan di masa New Normal harus tetap mengutamakan K3 atau Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi buruh. Hal ini mengingat aktivitas sebagian besar di industri melibatkan banyak orang. Ia mengharapkan penerapan New Normal bisa menggerakkan roda perekonomian. Para pekerja yang ter-PHK dan dirumahkan bisa diprioritaskan untuk kembali bekerja, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan di tempat kerja secara ketat. 
Ida menyarankan sektor-sektor industri yang kembali beroperasi pada masa New Normal merekrut para pekerja yang dirumahkan atau terkena PHK tersebut. Dia mengklaim 1,79 juta pekerja punya keterampilan dan pengalaman bekerja. Menurutnya, Kemenaker sudah berupaya mengotimalkan program BLK dan memberikan insentif pelatihan berbasis kompetensi dan produktivitas senilai Rp500 ribu perorang, guna menanggulangi dampak pandemi corona. Insentif tersebut berasal dari refocusing anggaran dan diwujudkan dalam bentuk pelatihan di BLK dengan menerapakan protokol kesehatan Covid-19. Program ini untuk mengantisipasi pekerja yang ter-PHK maupun dirumahkan namun belum ter-cover oleh Kartu Pakerja.

Kemenaker juga melaksanakan program padat karya infrastruktur, padat karya produktif, Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan pengembangan kewirausahaan melalui program Teknologi Tepat Guna (TTG). Program-program itu diperuntukkan bagi para pekerja yang terdampak pandemi, pekerja migran yang gagal berangkat atau dipulangkan, serta para pekerja dari sektor umkm.

Pada akhir Mei lalu, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan setiap industri yang kembali beroperasi di tengah pandemi harus menerapkan protokol kesehatan, seperti aturan physical distancing. Menurut dia, perlu ada penyesuaian kebijakan dan target dengan situasi terkini, terutama karena kondisi sektor manufaktur sedang mengalami tekanan besar. Kenormalan baru dalam industri manufaktur dapat berpengaruh pada aspek produktivitas hingga daya saing.

PHK memang menjadi solusi praktis perusahaan dalam menghadapi goncangan ekonomi, apalagi di masa pandemic seperti ini. Selain karena daya beli masyarakat yang turun, juga adanya kebijakan dari pemerintah untuk stay at home saat awal corona masuk ke Indonesia.

Pengaruh ekonomi terhadap keluarga

Adanya PHK besar-besaran ini, sangat berpengaruh terhadap perekenomian keluarga. Mereka yang bekerja sebagai buruh dan karyawan misalnya, tak lagi memiliki penghasilan. Akibatnya, perekonomian keluarga merosot tajam, bahkan bisa jadi berhenti.

Kondisi seperti ini menjadi tidak normal. Suami istri yang sebelumnya sama-sama bekerja dan punya penghasilan yang cukup, kemudian terkena PHK. Otomatis pendapatan keluarga jauh berkurang, sementara kebutuhan tetap atau bahkan meningkat karena anak-anak belajar daring. Untuk membuka usaha baru juga butuh modal yang tak sedikit. Di sisi lain, iklim perekonomian juga tidak mendukung karena daya masyarakat berangsur turun drastis. Fenomena seperti ini memicu masalah di intern keluarga. Si istri menuntut uang kepada suami untuk kebutuhan keluarganya, sedangkan suami tidak bisa berbuat banyak karena tak ada penghasilan yang masuk. Hingga mengakibatkan cekcok, pertengkaran, KDRT atau bahkan perceraian.

Nyaris setengah juta pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang 2019. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri (detik.com, 28/2/2020). Fakta ini memprihatinkan, karena setengah juta kasus perceraian bukanlah angka yang sedikit. Angka ini hanya yang tercatat sebagai kasus inkrah di pengadilan saja. Belum yang masih dalam proses pengadilan, atau baru terdaftar di pengadilan, atau kasus perceraian yang terjadi di bawah tangan. Jumlahnya bisa bertambah lagi. 

Dari tahun ke tahun, angka perceraian di Indonesia memang terus meningkat. Berdasarkan yurisdiksi Pengadilan Agama seluruh Indonesia, penyebabnya lebih banyak didominasi faktor perselisihan yang terus menerus, masalah ekonomi, dan penelantaran salah satu pihak.

Dengan diberlakukannya karantina wilayah serta anjuran stay at home, idealnya bisa mempererat ikatan dan kebersamaan dalam sebuah keluarga. Namun, realitasnya terbalik. Pandemi ini seolah memunculkan benih-benih keretakan  dan konflik di dalam keluarga.

Menurut data WHO, banyak negara melaporkan terjadi peningkatan kasus KDRT di masa pandemi. Diantaranya adalah Inggris, Perancis, Spanyol, dan Jepang. Di Spanyol, KDRT pada April 2020 meningkat 60% ketimbang April 2019. Dibandingkan dengan Maret 2020, kasus KDRT juga naik 38%. Di Inggris, panggilan pada saluran laporan KDRT meningkat 49% pada awal April 2020 jika dibandingkan dengan April 2019. Di Perancis, laporan KDRT pada Federasi Nasional untuk Solidaritas Perempuan naik dua hingga tiga kali lipat sejak negara ini memberlakukan karantina wilayah atau lockdown. Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) pun memperkirakan akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika penutupan wilayah berlangsung hingga 6 bulan. UNFPA memprediksi munculnya 15 juta kekerasan berbasis gender dalam setiap perpanjangan penutupan wilayah selama 3 bulan.

Di Indonesia, kecenderungan yang sama juga berlangsung. Menurut hasil survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap lebih dari 20.000 keluarga. 95% keluarga dilaporkan stres akibat pandemi dan pembatasan sosial. Hal itu terjadi pada April-Mei 2020. Data Komnas Perempuan selama wabah hingga 17 April, pengaduan kekerasan pada perempuan via surat elektronik sebanyak 204 kasus. Ada pula 268 pengaduan via telepon dan 62 via surat.

Selain KDRT, keharusan menjalankan karantina juga meningkatkan kecenderungan terjadinya perceraian. Di Tiongkok, permohonan perceraian pun meningkat di provinsi Sichuan dan Shanxi. Pemkot Dazhao di Sichuan misalnya, menerima 100 permohonan cerai pada akhir Maret 2020. Di Jepang, istilah ‘perceraian Corona’ bahkan menjadi tren dari banyak pasangan di negeri itu.
Pemberlakuan karantina wilayah dan pembatasan kehidupan sosial selama berbulan-bulan dalam kondisi ini memang dapat menghadirkan ketidakpastian, pemisahan, dan ketakutan bagi banyak individu, pasangan, dan keluarga. Sehingga tekanan dan depresi bisa muncul. Sudahlah tidak bekerja, ditambah tuntutan harus di rumah saja. Otomatis pemasukan berkurang hingga nyaris tidak ada sama sekali. Tentu ini menjadi pemicu stres suami maupun istri dan memunculkan problem tersendiri bagi keluarga hari ini.

Negara Wajib Menjaga Ketahanan Keluarga

Angka infeksi dan kematian yang kian melonjak, stres, dan kecemasan juga menerpa sebagai dampak tidak langsung. Sayangnya, mengatasi dampak langsung akibat pandemi saja pemerintah kapitalis sekuler kurang serius. Apalagi jika harus menangani dampak tak langsung yang menimpa individu dan keluarga. 

Pemerintah seharusnya hadir mengatasi dampak langsung maupun tidak langsung akibat pandemi. Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kesejahteraan lahir batin, fisik dan mental warga negaranya.
Fenomena seperti ini adalah masalah “global” yang tidak bisa dianggap sepele. Solusinya juga tidak bisa personal ataupun parsial. Negara memang harus hadir untuk mengatasinya. Berikut solusi yang bisa sampaikan ke tengah-tengah umat:

1. Hadirnya Negara Mengatasi Dampak Langsung Akibat Wabah
Kepemimpinan adalah amanah dan amanah kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dia pimpin.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam Islam, pemimpin harus berupaya sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada. Tampilnya seorang pemimpin dalam ikhtiar penyelesaian pandemi dan akibat yang menyertai, merupakan bagian dari amanah Allah SWT yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Peran negara mengatasi dampak langsung akibat pandemi dengan hadir secara nyata menjamin kebutuhan rakyat. Ketika diberlakukan isolasi, masyarakat tidak bisa mencari nafkah. Tentu ini dapat berdampak pada problem ekonomi di masyarakat, termasuk keluarga. Islam menggariskan bahwa negara adalah pelaksana pengaturan urusan rakyat dan pelindung mereka dari berbagai keburukan.

Oleh karena itu, saat negara melakukan isolasi atau karantina, kebutuhan rakyat seluruhnya ditanggung oleh negara, tanpa terkecuali. Negara tidak boleh berlepas tangan darinya.

2. Hadirnya Negara Mengatasi Dampak Tak Langsung Akibat Wabah
Selain memberikan jaminan kebutuhan ekonomi, negara juga berperan untuk gencar memberikan edukasi di tengah masyarakat. Dengan menyampaikan pesan takwa dalam situasi pandemi. Karena di situasi seperti ini, sangat memungkinkan terjadi kemerosotan iman dan takwa. Masyarakat perlu dipahamkan bahwa wabah adalah qadha dari Allah SWT. Sehingga mereka menerima musibah dan akibat yang ditimbulkannya dengan ridha, sabar, tidak panik, apalagi putus asa.

Rasulullah SAW bersabda, “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman. Semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya) dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur. Itu adalah kebaikan bagi dirinya. Jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar. Itu adalah kebaikan bagi dirinya.” (HR. al-Muslim). 

Karena iman dan takwalah yang menjadi jaminan pasti bagi kehidupan keluarga yang lurus, harmoni, dan kokoh. Diatasnya dibangun pergaulan yang baik di antara suami istri.

Selain menyampaikan pesan takwa, negara juga wajib hadir untuk mencabut pemahaman sekuler kapitalis yang menjadi penggerus pemahaman tentang takwa. Konsep fasad ini juga menjauhkan takwa dari standar aktivitas masyarakat, termasuk keluarga hari ini. Sehingga menyimpang jauh dari visi misi keluarga Islami. Paham sekuler kapitalis telah menjadikan keluarga hanya mengukur kebahagiaannya dengan perolehan materi. Sehingga ketika ekonomi keluarga tergoncang, bangunan keluarga pun akan ikut goyang.

Sistem sekuler kapitalistik yang diadopsi oleh seluruh negara di dunia kini juga membuat negara tidak hadir secara langsung memberikan jaminan kebutuhan masyarakat. Karena negara di dalam sistem kapitalis hanya berperan sebagai regulator bagi rakyatnya. Urusan masyarakat dikendalikan oleh para kapitalis (pemodal) bukan oleh negara. Padahal, prinsip para kapitalis adalah untung rugi. Jelas, para kapitalis tersebut tidak akan pernah mengamini negara untuk memenuhi hajat hidup masyarakat secara cuma-cuma karena dipandang merugikan.

Demikianlah solusi ampuh yang seharusnya dilakukan oleh negara. Sehingga setiap dampak yang muncul dari pandemi covid 19 ini, bisa tertangani dengan segera. Segala macam problem kehidupan yang tiada habisnya adalah akibat dari meninggalka aturan Allah yang mulia. Maka, kembali kepada ajaran Islam yang kaffah adalah suatu keharusan yang mestinya disegerakan. 

Walloohu' alam bishowab.