-->

OTG Milenial, Butuh Penyelesaian Komprehensif

Oleh : F. Dyah Astiti

Penamabda.com - New normal telah menjadikan sebagian besar aspek  kehidupan masyarakat berjalan secara normal, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. 
Mulai dari sektor ekonomi sampai pendidikan, sebagian besar sudah berjalan sebagaimana biasanya. Namun, ancaman covid-19 belumlah selasai. Itu dibuktikan dengan kasus yang terus bertambah setiap harinya. Bahkan Baru-baru ini kasus ribuan siswa-siswi Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD) yang terpapar covid-19, menjadi sorotan. Sebagaimana dilansir jabar-idntimes-com, dalam kasus Secapa AD, terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 1.280 orang. Di antaranya 991 orang merupakan siswa, dan 289 sisanya merupakan staf di Secapa beserta anggota keluarga dari staf. Rata-rata mereka merupakan Orang Tanpa Gejala (OTG) dengan usia muda atau millenial. Kaum muda atau milenial memang memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dari golongan usia yang lain. Sehingga mayoritas milenial yang terpapar covid-19 adalah OTG. Meskipun para milenial ini bisa isolasi mandiri dan tidak menunjukkan gejala, namun permasalahan ini tidak boleh disepelekan apalagi diabaikan. Kurangnya gejala tidak hanya berbahaya dalam arti bahwa orang-orang ini bisa menjadi pembawa virus yang tidak disengaja. Sehingga bisa menimbulkan terjadi ledakan kasus positif. Selain itu bisa jadi mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menjalani perawatan medis atau bahkan sekadar diagnosis. Risiko kematian mendadak atau kerusakan organ yang tidak dapat diperbaiki juga tinggi pada kasus tanpa gejala. Itu dibuktikan dengan sebuah penelitian di Wuhan yang menggambarkan perubahan paru-paru patologis pada CT scan pasien infeksi virus corona yang benar-benar tanpa gejala (republika.co.id)

Kondisi di atas memang tak bisa dipisahkan dari kebijakan yang terburu-buru. Bagaimana tidak, jika new normal saja sudah diterapkan, di tengah kondisi yang sebenarnya belum membaik. Alasannya adalah demi ekonomi. Tak bisa dipungkiri bahwa ekonomi juga merupakan hal penting yang harus diprioritaskan. Tapi tidaklah ideal jika demi ekonomi, kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi taruhannya. Jika kondisinya terus demikian maka covid-19 ini akan terus mengancam. Sehingga dibutuhkan adanya langkah cepat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Setidaknya dalam upaya membangun sistem kesehatan dengan pelayanan terbaik, edukasi utamanya kepada para milenial agar mereka semakin sadar dengan bahaya OTG dan kembali diberlakukannya Pembatasan sosial bersekala besar (PSBB). Namun, tak bisa dipungkiri bahwa memberlakukan kembali PSBB sampai membangun sistem kesehatan  dengan pelayanan terbaik adalah sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. Apalagi di tengah kondisi carut marut ekonomi hari ini. Sehingga bisa jadi pengambil kebijakan ada diposisi serba salah dan tidak bisa mengambil kebijakan secara cepat. Sehingga mau tidak mau masyarakat harus kembali gigit jari dan berdamai dengan covid-19. Atau menunggu vaksin yang belum jelas kemunculannya.

Kondisi ini tidak bisa dipisahkan dari sistem kapitalisme yang mencengkeram dunia. Sistem yang memandang manfaat adalah segalanya. Pertumbuhan ekonomi adalah yang utama. Meskipun mengkesampingkan keselamatan jiwa masyarakat. Akhirnya sistem ini menghilangkan peran negara sebagai pengurus urusan masyarakat. Negara hanya sebagai regulator.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan Negara yang menerapkan sistem Islam. Dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama. Yaitu sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (penjaga) bagi masyarakat. Fokus negara hanyalah mengurusi urusan masyarakat dengan islam. Termasuk menjaga keselamatan jiwa. 

Sistem islam juga akan ditopang dengan sistem ekonomi dan politik yang berlandaskan Islam. Politik islam yang kuat akan menjadikan daulah islam menjadi negara independen dalam menentukan kebijakan terbaik bagi masyarakat. Dalam sistem ekonomi terjadi pembagian kepemilikan yang jelas dan pengaturan distribusi yang sudah diatur oleh syariah. Sehingga tidak memungkinkan adanya liberalisasi SDA. Dalam ekonomi, negara yang menerapkan islam memiliki baitul mal. Fungsi Baitul Mal adalah untuk mengelola pendapatan dan pengeluaran negara sesuai Syariah Islam.

Secara garis besar ada 3 (tiga) langkah penyelesaian defisit anggaran yang bisa saja terjadi karena wabah, sebagai berikut:

Pertama, meningkatan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, pemimpin berhak melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, tentunya harus tetap sesuai hukum-hukum syariah Islam, diantaranya :

1. Mengelola harta milik negara.
2. Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. 
3. Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak sendiri bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap, melainkan pendapatan negara yang sifatnya insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi. Pajak yang boleh ditarik juga harus memenuhi syarat berikut. Diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan masyarakat, hanya diambil dari kaum Muslim saja bukan non muslim dan harus muslim yang mampu (kaya). 
4. Penguasa dapat pula menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya. 

Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Contohnya pengeluaran untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya penyempurna, atau yang disebut Al-Mashalih al-Kamaliyah, yang patokannya adalah kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi rakyat. Contoh pelebaran jalan.

Ketiga, berutang, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Dan hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. 

Wallahu a'lam bishshowab.