-->

Defisit Empati, Rezim Tak Punya Hati

Oleh : Ummu Tsabita Nur
(Pegiat dakwah muslimah)

Penamabda.com - Sayup-sayup terdengar guyonan satire seseorang "Di negeri ketoprak, kematian seorang pesinden lebih disesali daripada 25 tabib."

Saya tersenyum kecut. Apalagi faktanya terindra. Baru beberapa hari berselang telah berpulang seorang publik figur -yang bukan kebetulan- seorang biduan. Kepergiannya ditangisi banyak kalangan? Ya. Keluarga dan fans sudah pasti. Lagu sang pesohor memang banyak diminati publik di eranya.

Terus siapa lagi yang bersedih? Ini yang bikin meringis perih. Bagi beberapa pejabat sosok sang musisi adalah tokoh muda yang menginspirasi dan berdedikasi pada dunia seni. "Kepergian GF adalah kehilangan besar bagi dunia musik bangsa ini." tulis salah satu pejabat pada postingan instagramnya. (Grid.id).  
Dan banyak lagi komentar orang penting di negri plus 62, untuk menunjukkan rasa kehilangan yang teramat besar.

Memang bisa dimaklumi, perasaan kehilangan ini normal dan biasanya memang begitu. Tentu aneh saja kalau ada "orang dekat" berpulang terus doi bergembira. Walaupun yang wafat komedian ya tetap saja komennya soal kesedihan. Iya kan?

Satu jiwa sangat berharga

Rasulullah Saw. telah bersabda : 
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin
tanpa hak.” 
(HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Sungguh satu nyawa manusia sangat berharga di sisi Allah, apalagi jika dia mukmin. Namun setiap hari data kematian terus melonjak. Sampai kemarin saja sudah hampir 400 orang tewas. Belum lagi nakes. Dikutip dari katadata.co.id, tercatat ada 32 dokter dan 12 orang perawat yang harus tumbang karena pandemi ini (13 April 2020). 

Kemana empati mereka yang memangku jabatan penting saat ini? Hati kecil rakyat berteriak tapi senyap karena tergilas dalih tak ingin grasa-grusu mengambil kebijakan. Akhirnya lockdown telat sudah, wabah keburu menyebar. Kebijakan PSBB malah diambil,  tanpa ada kepastian bagaimana kebutuhan rakyat tetap bisa terpenuhi meski harus stay at home.

Negeri ini kehilangan banyak tabib ( baca : dokter), beberapa di antaranya adalah guru besar. Semua juga tau, tak mudah mencetak keahlian demikian. Anda tak merasa kehilangan??
 
Pandemi covid-19 seolah membongkar betapa tak sudi rezim mukidi bertanggung jawab atas kelambanan mereka bersikap. Bayangkan saja jika kebakaran hebat terjadi di rumah anda, yang mana dulu  mesti diselamatkan??
Mobil dan surat tanah apa nyawa keluarga? Tentu bagi yang masih waras, keluarga lah. Lalu mengapa untuk 200 juta lebih rakyat, di tengah wabah, seorang pemimpin masih mikir bagaimana ekonomi bisa shutdown kalau "pintu dikunci"! 

Ini sungguh tak adil. Kematian seorang pesohor ternyata bisa membuat pejabat  menangis. Kehilangan yang luar biasa tampaknya. Lalu mana tangisan dan kepeduliaan untuk rakyat yang pernah "dielus-elus" pas kampanye?  
Tak lebih berharga ternyata.

Kehidupan dunia memang pandai menipu. Harta, tahta, wanita bahkan kuota bisa bikin manusia kehilangan kewarasan.  Atas nama pertumbuhan ekonomi, devisa negara -entah apa lagi namanya -  penjagaan atas jiwa manusia terabai. Tak tau kah bahwa kelak di Yaumul Hisab tak bisa ngeles berbusa-busa?

Allah tak pernah tidur Bro. Rakyat tak semua juga penjilat dan dungu. 
Sungguh hanya kepada-Nya tempat mengadu. Ingatlah ancaman Allah atas kezaliman tak terperi wahai rezim.

"Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang dzalim. Sesungguhnya Allah
menunda hukuman mereka
sampai hari yang pada waktu itu
mata (mereka) terbelalak (karena melihat adzab).” 
(TQS. Ibrahim: 42).