-->

Tidak Sempurna Iman Hingga Nafsu Tunduk pada Syariat


Rasulullah ﷺ Bersabda :

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa(HR al-Hakim, al-Khathib, Ibn Abi ‘Ashim dan al-Hasan bin Sufyan).

Imam an-Nawawi dalam Al-Arba’un mengatakan, “Hadis ini hasan shahih. Kami telah meriwayatkan hadis ini dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad sahih.” Ibn Rajab menjelaskan, yang dimaksudkan adalah kitab, Al-Hujjah ‘alâ Târik al-Mahajjah, oleh Syaikh Abu al-Fatah Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i al-Faqih az-Zahid. 

Dalam hadis ini Rasulullah ﷺ menjelaskan bagaimana seharusnya seorang yang beriman memperlakukan hawa nafsunya ( al-hawâ ). Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, hawâ an-nafsi adalah keinginan jiwa. Para ahli bahasa mengatakan, al-hawâ adalah kecintaan manusia terhadap sesuatu dan dominannya kecintaan itu atas dirinya. Abu al-‘Abbas al-Fayyumi dalam Mishbah al-Munir menjelaskan, al-hawâ adalah jika kamu menyukai sesuatu dan terkait dengannya. Kemudian kata al-hawâdigunakan untuk menyebut kecenderungan jiwa dan penyimpangannya ke arah sesuatu, lalu digunakan untuk menyebut kecenderungan yang tercela.

Jadi, secara bahasa al-hawâ adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara mutlak. Namun, dalam penggunaannya, kata al-hawâ itu jika disebutkan secara mutlak maka yang dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang menyalahi kebenaran.

Sementara itu, makna “lâ yu`minu ahadukum” adalah iman yang tidak sempurna. Karena seorang mukmin yang melanggar syariat (bermaksiat) maka tidak mengeluarkannya dari iman Islamnya. Ia bukan kafir, dan ia tetap mukmin hanya imannya tidak sempurna.

Dengan demikian hadis ini bermakna: seseorang tidak akan mencapai derajat iman yang sempurna sampai seluruh keinginan, kecenderungan dan kecintaannya mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul ﷺ; baik perintah, larangan ataupun yang lainnya. Ia menyukai apa yang diperintahkan Rasul ﷺ dan tidak menyukai apa yang dilarang Rasul ﷺ.

Hadis ini juga bermakna bahwa seseorang seharusnya menjadikan keinginan Rasul ﷺ lebih didahulukan daripada keinginannya, dan syariat yang dibawa Rasul ﷺ lebih ia kedepankan daripada hawâ-nya; daripada kecenderungan atau kecintaannya. Jika keinginannya berbenturan dengan apa yang Rasul ﷺ bawa maka ia memenangkan apa yang Rasul ﷺ bawa. Sebab, al-hawâ menjadi tâbi’ (yang mengikuti), sementara apa yang Rasul ﷺ bawa, yaitu Islam dan syariatnya, adalah yang diikuti (al-matbû’). Semua kemaksiatan itu muncul karena hawa nafsu lebih didahulukan daripada kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul ﷺ.

Sangat memprihatinkan apa yang terjadi hari ini ketika ada seorang petinggi negeri yang menyatakan haram meniru sistem pemerintahan Rasulullah ﷺ. Alasan yang dikemukan adalah karena beliau ﷺ berhak dan boleh memerankannya karena dibimbing langsung oleh Allah SWT. Sementara umat Islam tidak mungkin menyamainya sehingga dilarang mendirikan Negara seperti yang didirikan Rasulullah Nabi Muhammad ﷺ (Nu online, 25 Jan 2020). Dengan dalih ini, maka haram mendirikan Khilafah.

Tentu ini hujjah yang mengada ada dan tidak berlandaskan dalil.

Kewajiban mendirikan Negara Khilafah di muka bumi ini sangat rinci dalil-dalinya secara syar’iy, dalam Al-Qur’an dan hadits, sedangkan sistemnya sangat jelas sebagaimana yang direalisasikan oleh Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidiin serta para khalifah setelahnya. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariat Islam. Bahkan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkota kewajiban)”. Tanpa Khilafah—sebagaimana saat ini—sebagian besar syariah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dsb terabaikan. 

Bahkan, pada dasarnya di kalangan ulama mazhhab salaf (terdahulu) pun tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’ayah syuun al-ummah (pengaturan urusan umat). Oleh karena itu maka sudah sangat jelas bahwa Khilafah adalah ajaran Islam, ajaran Rasulullah ﷺ. Tidak seharusnya seorang mukmin menolaknya.

Alasan ketidak bolehan meniru sistem pemerintahan Rasul ﷺ karena beliau dibimbing wahyu oleh Allah SWT sementara kita tidak, adalah alasan yang tidak bersandarkan pada dalil sehingga dipastikan lahir dari hawa nafsu (al-hawâ) yang tidak mau tunduk kepada syariat Allah dan RasulNya. Tidak mungkin Rasul ﷺ memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh umatnya. Dan tidak mungkin Rasul ﷺ mencontohkan sesuatu yang tidak bisa dicontoh oleh umatnya sementara beliau adalah uswatun hasanah. (lihat QS Al Ahzab 21).

Sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah adalah bagian dari syariat yang diperintahkan Rasulullah ﷺ. Sementara Rasulullah ﷺ menafikan kesempurnaan iman seseorang yang tidak mau tunduk dan taat dengan syariat yang dibawanya. Maka otomatis siapapun yang tidak mau mengambil sistem ini, maka ia tak mau mengambil ajaran Rasul ﷺ. Tidak tunduk syariat Rasul ﷺ saja sudah termasuk dalam hadist ini sebagai “lâ yu`minu ahadukum”, yang bermakna tidak sempurna iman seseorang. Lalu bagaimana dengan larangan mengambil ajaran Rasul ﷺ? Tentu ini sebuah kelancangan. Tak berhak seorang manusiapun melarang apa yang diperintahkan oleh Rasul ﷺ, apapun alasannya.

Seorang yang beriman seharusnya akan berusaha menundukkan hawa nafsunya sehingga tidak akan berkata dan berbuat kecuali sesuai dengan syariat. Ia seharusnya juga menjadikan Islam dan syariatnya sebagai standar dan pedoman dalam semua perkataan dan perbuatannya. Semua keinginan, kecenderungan dan kesukaannya tunduk pada ketentuan Islam dan syariatnya. Inilah seharusnya sikap yang benar.

Kita bisa melihat sikap tersebut pada para shahabat Nabi Muhammad ﷺ. Mereka tunduk dan pasrah pada apa yang dibawa Nabi ﷺ walaupun memiliki pendapat lain. Dari Rafi bin Khadij ra ia berkata:

نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا

“Rasulullah ﷺ pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami” (HR. Muslim, no. 1548).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:

أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس

“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah ﷺ, maka tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28).

Dan terlebih lagi, ada banyak ayat Al quran yang menyeru kepada kita untuk tunduk secara totalitas dengan syariat Allah dan RasulNya. Di antaranya yaitu QS. Al Ahzab: 36, QS An Nisa 65, dan QS An Nuur 51. Semoga kita menjadi orang orang yang senantiasa berusaha menundukkan hawa nafsu kita hingga benar-benar tunduk dan patuh pada syariat Nabi Muhammad ﷺ.

====
Sumber:
https://suaramubalighah.com/2020/02/05/tidak-sempurna-iman-hingga-nafsu-tunduk-pada-syariat/