-->

Muruah Rontok Karena Tik Tok

Oleh: Andi Annisa
(Alumni Mahasiswa Unismuh Makassar)

“Latah.” Demikianlah kata yang cukup menggambarkan kebiasaan sebagian masyarakat yang kerap kali disapa dengan sindiran “warga +62”. Betapa tidak, tiap kali ada hal yang baru dan terbilang fenomenal, selalu saja ada yang latah ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan apakah yang mereka lakukan berfaedah atau tidak, benar atau salah. Sebut saja ”Tik Tok”. Salah satu aplikasi android yang membuat masyarakat latah dan ikut-ikutan berjoget sebebas-bebasnya tanpa rasa malu. Dari anak-anak hingga dewasa, banyak yang terpapar virus alay yang satu ini.
Sebagai aplikasi yang bisa dibilang membuat muruah orang yang menggunakannya jatuh, tentu sangat disayangkan bilamana generasi muda saat ini justru ikut-ikutan larut bergoyang dan bernyanyi dengan aplikasi tersebut, terlebih lagi jika mereka dari kalangan civitas akademika yang sejatinya menyandang gelar “kaum intelektual” di mata masyarakat. 

Dikutip dari situs Zonatimes.com, pembekalan Kuliah Kerja Nyata (KKN) angkatan 62 UIN Alauddin Makassar diikuti 2.671 mahasiswa di Auditorium UIN Alauddin Makassar pada hari Senin,17 Februari 2020. Selain dibekali dengan materi, ribuan mahasiswa juga dihibur dengan berbagai permainan. Salah satunya yang paling menghebohkan adalah sejumlah pejabat atau dosen UIN Alauddin Makassar bermain Tik Tok bersama mahasiswa.

Tidak hanya kalangan mahasiswa dan para dosen saja yang memainkan aplikasi ini, pejabat pemerintahan hingga presidenpun ikut juga. Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memposting video Tik Tok di akun media sosialnya. Partai Demokrat mengatakan video itu tidak memiliki tujuan apapun, hal itu dinilai bentuk meluangkan waktu AHY dengan keluarga (news.detik.com, 18/02/2020). 
Lebih miris lagi, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) menjawab tantangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin badan ini fokus pada milenial dengan mensosialisasikan Pancasila melalui platform media sosial termasuk YouTube, Blog, hingga Tik Tok. (cnbcindonesia.com 18/02/2020).

Buah mangga jatuh tak jauh dari pohonnya. Inilah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan mereka yang latah memainkan aplikasi ini. Tak heran jika para kaum intelektual hingga pelajar latah dan memainkannya, sebab pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat juga melakukan hal yang demikian. Tentu ini akan menjadi pembenaran dan kewajaran bagi generasi saat ini untuk melakukan hal yang sama.

Inilah hal yang miris. Negara yang seharusnya berdiri di garda terdepan dalam melindungi generasi dari krisis identitas, justru pejabat negaralah yang malah memberi contoh yang tidak benar. 

Sebenarnya, aplikasi Tik Tok pernah diblokir oleh pihak kemenkominfo dengan alasan aplikasi ini memuat konten negative. Namun berselang 7 hari kemudian, Tik Tok kembali beroperasi lantaran setelah pihak penyedia platform Tik Tok melakukan negosiasi dan bersedia mengikuti ketentuan Kemenkominfo termasuk melakukan filtering terhadap konten negatif. 

Aplikasi yang merusak sebenarnya bukan hanya Tik Tok, namun ada banyak aplikasi lain yang memuat konten negatif, namun negara sama sekali tak melakukan pemblokiran. Miris tentu iya. Namun, lagi dan lagi, inilah buah busuk dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Ini terbukti dengan sikap pemerintah yang melempem oleh desakan kaum kapitalis yang tak ingin rugi.  Seolah tak memperhatikan dampak buruk perizinan Tik Tok, negara hanya lebih memperdulikan keuntungan bisnis investasi digital ketimbang tergerusnya identitas dan rusaknya moral generasi. 

Sistem sekuler kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan juga menghasilkan generasi hedonis dan  bergaya hidup bebas hingga hilang muruahnya. Beda halnya dengan bagaimana pemuda-pemudi ketika khilafah tegak dulu. Saat itu, mereka tidak disibukkan dengan perkara yang remeh-temeh. Namun, mereka disibukkan dengan seabrek hal-hal yang bermanfaat semisal berhasil mendalami ilmu agama dan menemukan penemuan-penemuan baru dalam bidang sains dan teknologi seperti Imam Syafi’I, Ibnu sina, Ibnu Firnas, Al-Khawarizmi, dan yang masih banyak lagi; atau memiliki cita-cita mulia untuk menjadi pahlawan yang gigih melawan musuh dan membela agama mereka seperti Salahuddin Al-Ayubi, Muhammad Al-Fatih, dan yang lainnya.
 
Namun, apa mau dikata? Generasi pemuda dalam sistem sekuler kapitalis yang notabene banyak yang menjelma menjadi generasi latah nan alay. Betapa tidak, negara abai dalam urusan rakyatnya. Mirisnya lagi, bukannya mengambil peran utama dalam menjaga generasi, para pejabat pemerintah justru seolah rontok muruahnya lantaran ikut-ikutan alay dengan ikut serta menggunakan aplikasi ini. Begitupun dengan para pendidik. Ibarat guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tak heran bila banyak pemuda ikut-ikutan alay, sebab guru ataupun dosen sebagai pendidik justru mencontohkan hal yang tidak semestinya.

Maka tak ada lagi alasan untuk tidak mencampakkan sistem yang rusak ini dan kembali kepada sistem Islam. Sebab hanya dengan sistem islam dan penerapan aturan secara kaffah (menyeluruh) lah akan lahir generasi-genrasi hebat seperti ketika Islam Berjaya dulu.

Wallahu A’lam Bish-Shawab