-->

Membahagiakan Anak Itu Sederhana




Oleh: Iwan Januar

“Yuk, jalan-jalan dik, ke taman.”
Biasanya begitu ajakan istri saya pada anak-anak, terutama yang nomor tiga dan yang empat ketika ada waktu senggang di pagi hari. Tidak mesti di hari libur, terkadang di hari apa saja saat ada waktu, istri saya mengajak mereka jalan-jalan ke taman. Saya sesekali ikut menyertai mereka.

Jangan bayangkan itu taman yang cool seperti tempat wisata, atau taman di kota mandiri seperti di perumahan-perumahan elit. Ini benar-benar taman bermain biasa. Di tengah pemukiman, atau komplek menengah. Di sana ada ayunan, perosotan dan mainan standar untuk anak-anak. Anak-anak mah fun saja bermain di taman seperti itu.

Menurut SOP bermain dengan anak-anak, maka usai bermain ditutup dengan jajan atau sarapan. Tukang makanan apa saja yang lewat atau singgah, kami cegat. Bubur ayam, siomay, cilung atau cilor (hafal ayahbunda dua jenis makanan ini?), ya agak-agak nge-junk food dikit, tapi khas kampung, yang penting anak-anak senang.

Ayahbunda, membahagiakan anak-anak itu jurusnya simpel saja. Jangan bayangkan Anda harus membawa mereka ke waterpark, flying fox, atau diving ke Raja Ampat. No. Forget it. Banyak orang tua berpikir terlalu njlimet tentang cara membahagiakan anak. Itu karena mereka berpikir bahagia itu adalah harus seperti mereka, orang dewasa yang sudah jenuh ngejar duit.

Ya, banyak orang tua yang berpikir kalau membahagiakan anak itu sama dengan cara membahagiakan orang dewasa, khususnya mereka. Padahal dunia anak totally different dengan kita, orang dewasa. Beda banget.

Anda pernah lihat anak balita ketawa-tawa melihat bola menggelinding, ayahnya pasang muka badut, atau mengeluarkan suara bebek? Hal yang amat sederhana – bahkan remeh – menurut otak orang dewasa, tapi menyenangkan untuk mereka. Sayang, sebagai orang tua kita seringkali tidak peka dengan dunia anak.

Saya pernah bertemu dengan anak yang kebingungan saat ditanya apa momen yang paling berkesan atau membahagiakan saat bersama orang tua. ABG itu kebingungan lalu menjawab, “Kayaknya nggak ada, Pak!” OMG. Semoga anak itu berkata demikian karena lupa, bukan karena memang nggak ada momen yang fun bersama orang tuanya.

Ada beberapa cara yang amat simpel untuk membahagiakan anak:

PERTAMA, Tuluslah mencintai mereka. Rasulullah SAW. adalah figur orang dewasa, ayah dan kakek yang senang menyapa, merangkul, menggendong dan mencium anak-anak. Beliau juga tidak pernah membeda-bedakan putra-putrinya dan cucu-cucunya. Membeda-bedakan anak selain diharamkan agama juga membuat anak merasa tidak nyaman dan tidak bahagia.

Jadi, jangan pedulikan kata orang kalau anak kita itu ada kekurangan itu dan itu, bukan juara kelas, tidak terlalu pandai menghafal al-Qur’an, dsb. Cintailah mereka dengan tulus, karena anak bagaimanapun juga adalah anugerah dari Allah. Lagipula kesalehan tidak diukur dari juara kelas, cantik dan ganteng atau jumlah hafalan ayat dan hadits, tapi dari seberapa banyak anak-anak kita mengamalkan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW.

KEDUA, Ada waktu untuk bersama mereka. Dalam buku saya, Alhamdulillah Aku Menjadi Ayah, saya cantumkan nasihat dua orang psikolog asal AS, mereka katakan; kalau Anda tidak punya waktu untuk anak sebaiknya Anda tidak usah punya anak.

Coba hitung, berapa jam dalam sehari dan sepekan ada waktu bagi Anda untuk menelepon anak-anak? Duduk bercanda, ngobrol dan memberi tausiyah ringan pada mereka? Bandingkan dengan waktu bisnis, kerja, juga dakwah? Apakah proporsional, pas, tidak kurang?

Saya sertakan perbandingan dengan waktu dakwah karena kegiatan dakwah pun tak boleh merampas waktu kebersamaan dengan anak. Itu adalah hak mereka. Sedangkan Nabi SAW. pernah mengingatkan; “Sesungguhnya pada keluargamu ada hak (yang wajib kau tunaikan).”

Saya ingatkan, durasi kebersamaan dengan anak itu takkan lama. Nanti ada masa mereka menginginkan kemandirian, terpisah dari orang tua dan saudaranya. Cukupnya waktu bersama dengan anak akan membuat mereka bahagia.

KETIGA, jangan mudah dan sering marah. Orang tua marah itu biasa, tapi terlalu gampang dan sering marah itu tak baik dan membuat anak tidak merasa nyaman. Belajarlah untuk menjadi person yang ‘kebal rasa’, maksudnya toleran pada kesalahan orang lain apalagi anak-anak. Mereka juga seperti kita di waktu kecil, kerap melakukan hal yang bodoh, tak tahu aturan, dan berulang melakukan kesalahan.

Mulailah mengendalikan amarah. Marah yang baik adalah pada momen yang pas, tak berlebihan dan mudah melupakan kesalahan orang yang kita marahi. Apalagi pada anak kita, segeralah maafkan kesalahannya dan akrab lagi dengannya.

KEEMPAT, Doakan mereka dan sampaikan harapan Anda. Rasulullah sering menggendong anak-anak kaum muslimin dan mendoakan mereka. Doa itu sampai terdengar oleh anak-anak yang Beliau doakan. Ibnu Abbas ra. misalnya ingat betul bahwa Rasulullah SAW. mendoakannya agar menjadi orang yang pandai dalam memahami al-Qur’an. Doa itu terkabul, dan ia pun menjadi seorang sahabat yang paling memahami kandungan al-Qur’an dibandingkan sahabat-sahabat senior yang lain.

Sekali waktu pegang pundaknya, atau usap kepalanya, atau pangku si kecil, lalu katakan kalau Anda selalu mendoakannya agar menjadi anak yang soleh, pandai, dan dicintai Allah.

Ada efek psikologis yang luar biasa pada orang yang mendengar pengakuan Anda bahwa ia selalu Anda doakan. Apalagi anak-anak kita. Mereka semakin percaya (dan bahagia tentunya) pada orang tuanya karena selalu mendoakan anak-anaknya.

KELIMA, penuhi kebutuhan mereka sesuai hak yang ma’ruf. Allah SWT. telah mewajibkan pada orang tua – khususnya ayah – untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anak mereka. Mulai dari pangan, sandang dan tempat tinggal. Berdosa seorang ayah manakala mengabaikan nafkah istri dan anak-anak mereka.

Maka tunaikanlah nafkah anak-anak dengan ma’ruf, tidak membeda-bedakan, dan ajak mereka selalu mensyukuri setiap rezeki yang Allah limpahkan. Insya Allah mereka akan merasa menjadi anak-anak yang selalu berbahagia[]

========

https://www.facebook.com/Dunia-Parenting-754865644854443/