-->

Galau Sambut Tahun 2020 Gara-gara Omnibus Law


Oleh: Ragil Rahayu, SE

Rencana Pemerintah untuk menerbitkan Omnibus Law ditolak oleh kalangan buruh. Omnibus Law yang diajukan Pemerintah terdiri atas dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan.

Presiden Joko Widodo mengatakan, Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang (katadata, 27/12/2019). Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menargetkan Omnibus Law dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Januari 2020 (cnnindonesia, 28/12/2019).

Menyikapi hal ini, buruh pun mulai bergerak. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan menggelar demonstrasi besar-besaran pada 16 Januari 2020. Ada lima hal yang disoroti KSPI terkait Omnibus Law yaitu menghilangkan upah minimum, pesangon, fleksibilitas pasar kerja/penggunaan outsourcingdiperluas, lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) unskill, dan jaminan sosial terancam hilang (kompas.com, 30/12/2019).

KSPI menilai RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan mengancam kesejahteraan buruh. Penolakan terhadap Omnibus Law juga disampaikan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) karena dinilai sebagai produk kapitalis yakni dalam konsep pembahasannya tidak melibatkan serikat pekerja atau buruh. Dengan adanya rancangan Omnibus Law ini, FSPMI menuding pemerintahan sekarang tidak pancasilais (tempo.co, 29/12/2019).

Buruh, Korban Kekejaman Kapitalisme

BURUH, selalu menjadi korban dalam kapitalisme. Selama ini, melalui mekanisme upah minimum per bulan saja, buruh sudah berada di garis kemiskinan. Jika Omnibus Law diberlakukan, buruh akan diupah per jam.

Dengan skema ini, buruh yang menjalankan hak cuti atau tidak bekerja sementara karena sakit tidak mendapat upah. Walhasil buruh makin termarjinalkan. Jamaknya praktik upah per jam di Eropa dan Amerika menjadi dalil Pemerintah untuk menerapkannya di Indonesia. Skema ini dianggap adil karena pekerja produktif akan mendapat upah lebih besar.

Namun, kita harus melihat latar belakang diterbitkannya Omnibus Law yakni untuk mempermudah investasi. Upah buruh yang rendah selama ini menjadi salah satu daya tarik investasi di Indonesia. Omnibus Law diterbitkan untuk menyenangkan investor, meski harus menekan buruh.

Inilah praktik korporatokrasi yakni penguasa disetir untuk mengikuti kemauan korporasi dalam proses legislasi. Lalu di manakah jargon “merakyat” yang selama ini dicitrakan? Selama Indonesia menganut sistem kapitalisme, selama itu pula buruh akan menjadi sapi perah ekonomi.

Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem Islam/khilafah.

Sistem Upah Khilafah, Adil dan Menyejahterakan

ISLAM memosisikan kontrak kerja sebagai akad jasa dengan adanya suatu kompensasi. Kompensasi ini disebut upah. Besarnya upah bisa diklasifikasikan menjadi dua yakni upah yang telah ditentukan (ket: berdasar kesepakatan pemberi kerja dan pekerja) dan upah yang sepadan (ditentukan oleh orang/lembaga yang ahli menetapkan upah, misalnya lembaga profesi tertentu).

Jika ada sengketa antara pemberi kerja dan pekerja terkait upah, maka pengadilan atau negaralah yang berhak menentukan ahli pengupahan untuk mereka. Mekanisme ini akan mewujudkan keadilan bagi kedua belah pihak, sehingga tidak ada satu pihak pun yang dizalimi.

Dalam kapitalisme, upah didasarkan pada biaya hidup minimum (UMR/UMK), akibatnya kehidupan finansial buruh selalu di level minimum, tak kunjung sejahtera.

Indonesia silau dengan kondisi di negara Barat yang menerapkan konsep upah minimum dan para buruh di sana seolah sejahtera. Bahkan, skema upah per jam sudah lama dipraktikkan.

Padahal apa yang diperoleh oleh pekerja di sana adalah sebatas standar hidupnya yang paling minim. Akan tetapi, tingginya taraf hidup masyarakat Eropa dan Amerika menjadikan upah minimum yang diperoleh seolah tinggi jika dibandingkan dengan taraf hidup kita di negara dunia ketiga (sumber: Sistem Ekonomi di Dalam Islam, An Nabhani).

Islam memisahkan antara upah dengan kebutuhan hidup. Terpenuhinya kebutuhan dasar adalah tanggung jawab negara pada seluruh rakyatnya. Bukan kewajiban pemberi kerja pada pekerja. Negara dalam konsep Islam, yakni Khilafah, menjamin semua kebutuhan dasar rakyatnya.

Pemberi kerja tinggal berpikir bagaimana untuk mengupah pekerjanya sesuai jasa dan manfaat yang diberikan. Pengusaha tidak dipusingkan UMR/UMK, inflasi, demo buruh, dll. Karena buruh telah terpenuhi hak dasar dan juga upahnya secara profesional.

Buruh juga sejahtera karena layanan kesehatan, keamanan, dan pendidikan disediakan gratis oleh Khilafah. Buruh tinggal bekerja dengan hati tenang, menjemput rizki dari Rabb-nya. Jika masih ada buruh berupah rendah karena produktivitasnya rendah, Khilafah akan menilik penyebabnya.

Jika kurang terampil, akan diberi keterampilan melalui kursus gratis oleh negara. Jika fisiknya lemah karena tua, cacat, atau sakit, negara akan memasukkannya dalam golongan fakir atau miskin yang berhak mendapat zakat dan santunan dari negara.

Khilafah tidak akan menjadi korporatokrasi yang terjepit di ketiak investor, sehingga berlaku zalim pada buruh yang notabene rakyat kecil.

Khilafah akan berkhidmat untuk mengurusi urusan umat (riayatu syu’unil ummat) dengan menerapkan syariat Islam secara kafah sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya:

“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu.” (TQS al-Maidah [5]: 49).

Dalam topik upah, tampak keunggulan Khilafah dibanding sistem kapitalisme. Sistem Islam menyejahterakan buruh sekaligus membuat pengusaha tenang dalam berbisnis. Sementara di sistem kapitalisme yang diterapkan Indonesia saat ini, negara disetir investor, akibatnya buruh makin melarat dan pengusaha lokal pun banyak yang sekarat.

Mari akhiri kezaliman ini, terapkan sistem yang menyejahterakan yakni Khilafah. Wallahu a’lam bishawwab.[MNews]

______________

Sumber : MuslimahNews.com