-->

BUKAN LAGI ANAK MANJA

Oleh : Ustazah Yanti Tanjung

Begitu masuk usia sebelas tahun Gadis “kedatangan bulan”, perasaannya diselimuti kegelisahan, pikirannya kacau, bingung harus bagaimana ketika melihat ada darah yang keluar dari farjinya. Apa yang harus dilakukan, kenapa bisa terjadi seperti ini, umur saya masih sangat muda baru kelas 5 SD dan orang pertama yang mengalami haidh. Dan yang paling suprise disertai menegangkan saat haidh datang tanpa persiapan apa-apa, khususnya bagaimana mensucikan pakaian dalam yang kena darah, jijik rasanya.

Beda dengan anak di atas, yang ini begitu melihat darah yang keluar langsung peluk bundanya sambil menangis tersedu-sedu dan lama baru reda, galau rasanya menghadapi sisi kejiwaan seperti ini, khawatir tidak bisa menjadi hamba yang baik, karena seluruh amal harus dipertanggungjawabkan, lemes ini sekujur tubuh hilang gairah berhar-hari memikirkan pahala dan dosa. Apalagi bunda membisiskkan, “Mulai hari ini dirimu menanggung pahala dan dosa sendiri.” Duh, semakin resah jiwa. Bagaimana dengan shalatku yang masih asal, bagaimana dengan jilbabku, pergaulan, ibadah lainnya yang masih sedikit? 

Juga ada anak yang pertama kali mengalami haidh setiap kali ganti pembalut, selalu minta dicucikan pembantu karena tidak mau mengurusi bekas darah,jika pembantu tidak ada itu pakaian dalam bisa berhari-hari di kamar mandi. Karena bundanya tak cukup waktu karena kesibukan untuk mendampingi ananda selama proses haidh berlangsung.

Lain anak perempuan lain pula dengan anak laki-laki ketika mengalami ihtilam meski sudah mendapatkan gambaran ciri-cirinya juga masih ragu apakah ini yang dinamakan mimpi, apakah ini yang disebut air mani, atau ini hanya cairan biasa, duh apakah aku sudah dewasa ataukah masih disebut anak-anak ?

Yang di atas itu potret kegelisahan anak yang baru dewasa ketika mengalami menstruasi atau mimpi pertama kali, namun sang ibu jauuuh lebih gelisah jika mengalami anak perempuannya haidh tanpa terduga dan tidak sesuai perkiraan umur yang dibayangkan sementara orang tua tak cukup memberikan persiapan, baik itu perkara keimanan, pemahaman tsaqafah islam dan wawasan seputar haidh. Semakin terasa besarnya kesalahan saat di usia yang sudah dewasa itu berpikir dan berprilaku ananda masih kanak-kanak.

Apalagi menghadapi anak laki-laki tentu ibu seringkali sulit mendeteksi dan intervensi. Saat ihtilam jika anak tidak tebruka mungkin luput dari perhatian ? Shalat subuh saja masih dibangunkan, ke mesjid sekali-kali, belum bisa cuci baju sendiri, pulang sekolah sepatu masih dimana, tas dimana, seragampun masih dirapihkan mama.

Ihtilam bagi anak laki-laki disertai tumbuhnya rambut di seputar kemaluan dan haidh bagi anak perempuan atau ada tanda kehamilan adalah ciri anak sudah dewasa dan mukallaf menanggung beban hukum-hukum syara’. Dalam konsep pendidikan sekuler tidak mengenal standar dewasa seperti ini, maka tidak pernah menyiapkan kurikulum konsekuensi pertanggungjawaban terhadap Allah swt.

Karenanya tidak heran jika di Sekolah Dasar di Indonesia anak-anak yang mengalami menstruasi masih disebut anak-anak hingga mereke usia 18 tahun mengikuti konsep anak di dunia. Ini menyesatkan dunia pendidikan dalam Islam. Tidaklah salah jika kita mengatakan anak-anak kita masih berprilaku manja dalam kesehariannya, masih merepotkan keluarga dan banyak orang, tidak mandiri dan cendrung tidak bisa mengurusi diri sendiri, padahal semua itu tidak perlu terjadi.

Seharusnya jika proses pendidikan Islam sesuai target, maka usia 10 tahun anak sudah memiliki kepribadian Islam, memiliki kecerdasan berpikir islami dan kesalehan jiwa dan sejumlah keterampilan hidup untuk memimpin dan kemandirian. Sehingga saat anak mengalami baligh pertama tidak perlu ada episode kegalauan tapi yang ada adalah kepercayaan diri sebagai manusia dewasa yang sudah memahami segala konsekuensi dari keimanan. Kalau tohpun ada kegalauan itu bisa segera dikendalikan sebab sudah cukup tsqafah Islam dalam benak dan memiliki habit yang baik dalam ibadah dan ketaatan kepada Allah swt sejak rentang usia 7-10 tahun.

Jadi kesiapan anak pasca baligh sangat ditentukan pendidikan anak di usia prabaligh, saat usia dini maupun usia mumayyiz. Kesuksesan pedidikan di usia prabalgh sangat menentukan kesiapan anak saat dia di usia baligh. Maka orang tua harus mengoptimalkan diri mendidik anak-anak prabaligh dan harus tuntas di setiap target yang diinginkan syariah Islam terhadap anak baik pola berpikir Islami maupun pola sikap islami. Jika udah ditentukan maka anak yang tadinya manja, pas fase baligh tidak lagi, justru tidak hanya pandai mengurusi urusan dirinya tapi juga kreatif mengurusi urusan orang lain dengan Islam.

Adapun yang harus dimiliki anak pas baligh adalah :
1. Memiliki kepribadian Islam
2. Memiliki hafalan Alquran yang banyak sebagai ma’lumah sabiqah yang dipakai untuk menilai benda, perbuatan dan pemikiran.
3. Memiliki tsaqafah dasar berupa aqidah Islam, Fiqh, Tafsir, Ilmu Alquran,Ilmu Hadist, Siroh Rasulullah saw, Bahasa Arab, tarikh muslim, Ushul Fiqh
4. Memilik lifeskil yang didapatkan dari ilmu math, Sains dan Geografi, Komputer,berenang, berkuda, memanah, dasar-dasar baris berbaris dll.
5. Memiliki jiwa kepemimpinan.

Semua dituangkan dalam kurikulum dan kurikulumm tersebut harus dikuasai oleh orang tua dan guru agar anak mendapatkan haknya untuk menjadi sosok pribadi islam yang tangguh, sosok imam dalam ketakwaan dan sosok umat terbaik di usianya.

Wallaahu a’lam bishshowab[]
____
Sumber : Dunia Parenting