-->

Hanya Sistem Islam Harapan Umat

Oleh: Elah Hayani

Indonesia tengah ada dalam pesta demokrasi. Tanggal 14 Februari yang lalu, pemilu untuk memilih pemimpin negeri ini dan para wakil rakyatnya yang akan duduk di DPR/MPR juga wakil-wakil rakyat di daerah, yang akan duduk di DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, untuk lima tahun ke depan. Pemilu ini akan berlanjut lagi untuk memilih pemimpin-pemimpin daerah di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Ketua Mesjid Indonesia (DMI), KH. Shohibul mengatakan, bahwa sebagai WNI berhak untuk mengikuti pemilu, dan bahwa dalam sebuah perpolitikan tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Beliau berharap kepada semua masyarakat,  khususnya masyarakat Kabupaten Bandung, agar pesta demokrasi ini dijadikan sebuah momentum untuk bersyukur kepada Allah SWT, baik yang menang maupun yang kalah. Bagi yang kalah harapan kami tentunya harus bersatu untuk  membangun Kabupaten Bandung yang bedas (bangkit, edukatif, dinamis, dan sejahtera), mempererat kembali persaudaraan,  menyatukan visi, misi kabupaten Bandung menuju Indonesia emas.

Ungkapan dan harapan tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang terjadi di masyarakat. Banyak kejadian miris di kalangan para calon legislatif (caleg) dan tim suksesnya yang kalah dalam pemungutan suara, diantaranya ada caleg yang melakukan penarikan bantuan, ada juga yang sampai meneror warganya dengan petasan sampai ada korban yang meninggal akibat serangan jantung, dan ada juga tim sukses salah satu caleg yang depresi, bahkan hingga ada yang nekat mengakhiri hidupnya.  

Kondisi ini memperlihatkan rapuhnya mental para kandidat calon wakil rakyat. Mereka hanya berharap akan terpilih dan menjadi pejabat, tapi tidak siap jika mereka tidak terpilih. Ini adalah suatu gambaran bahwa tujuan mereka meraih jabatan sebagai wakil rakyat hanyalah menginginkan kekuasaan dengan gaji yang besar dan berbagai fasilitas yang akan mereka dapatkan, yang mendorong mereka untuk mengeluarkan harta kekayaan mereka untuk membiayai pencalonannya dengan berbagai macam cara. Mereka tidak memperdulikan cara itu halal atau haram,  dan akibat yang akan mereka dapatkan, demi meraih suara, dan simpati rakyat. Tipe-tipe pemimpin seperti ini jauh dari harapan akan bisa bekerjasama,  bersatu, demi membangun bangsa, karena tujuan mereka menjadi penguasa adalah demi mendapat keuntungan pribadi atau kelompoknya.

Maka ketika bergantinya pemimpin melalui pemilu ditentukan oleh jumlah perolehan suara yang paling unggul, setiap kontestan akan berupaya meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya, walaupun harus dengan money politics, dan kampanye besar-besaran agar dikenal oleh mayoritas rakyat, yang hal ini membutuhkan dana besar.

Dana tersebut tentu tidak hanya dari kantungnya sendiri. Sudah lazim di negara demokrasi, para kontestan pemilu akan  menggandeng para pengusaha besar untuk mendapat bantuan dana, yang mereka berikan tidak secara cuma-cuma. Ada kompensasi yang akan diminta ketika kontestan pemilu itu menang, atau menjabat, berupa proyek-proyek pembangunan, ataupun kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para pengusaha tersebut. Mereka bisa mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh para penguasa atau wakil rakyat, sehingga pro terhadap para kapitalis (pemilik modal/pengusaha), dan tidak pro rakyat. Inilah sesungguhnya politik demokrasi, yang merupakan politik transaksional, yang sarat dengan nuansa bisnis, dan jauh dari aspek mengatur urusan rakyat (umat).

Walaupun saat pemilu suara rakyat yang menentukan kemenangan mereka, akan tetapi rakyat akan kembali menelan kekecewaan sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, akibat para politisi yang dilahirkan dari demokrasi kapitalis sekuler ini, tidak pernah sedikitpun memikirkan urusan rakyat (umat). Aspirasi rakyat pun tidak pernah diperdulikan. 

Sistem politik seperti ini telah mencampakkan aturan Allah SWT dari kehidupan manusia, karena menerapkan aturan para wakil rakyat yang pro pengusaha (kapitalis), sehingga menjauhkan manusia dari ketaaatan, halal- haram tidak dijadikan standar perbuatan manusia, tetapi untung- rugi yang dijadikan standar untuk memenuhi kepentingan mereka . 

Umat harus sadar bahwa kondisi seperti ini tidak baik-baik saja, dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, dan harus diubah ke arah kehidupan yang baik, yaitu kehidupan Islam. Allah SWT telah berfirman yang artinya : 

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (TQS ar-Ra'du : 11).

Untuk itu saatnya umat beralih dari sistem aturan manusia yang kufur yaitu demokrasi kapitalisme, kepada sistem yang shohih yaitu sistem islam sebagai solusi atas seluruh problematika kehidupan. Dalam Islam kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Kekuasaan yang dijalankan adalah untuk menerapkan syariat islam, bukan untuk kepentingan demi meraih keuntungan materi, seperti dalam sistem kapitalisme demokrasi. 

Di dalam Islam, seorang pemimpin adalah pengurus rakyat,  yang bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya. Pemimpin yang baik hanya akan lahir dari sistem yang baik pula. Dan semua ini sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Untuk itu saatnya beralih dari sistem kepemimpinan kufur, kepada sistem Islam yang berasal dari Allah SWT yang akan memberikan keberkahan dunia dan akhirat. 

Wallahu alam bishawab