-->

Sistem Lembaga Peradilan Ala Demokrasi Tak Mungkin Bebaskan Negri Dari Korupsi

Oleh: Ummu Riky Fadhillah 

Korupsi berjamaah seolah sudah  lumrah di Indonesia bahkan juga di lembaga peradilan dan penegak hukum . Operasi tangkap tangan yang di lakukan oleh KPK terhadap 10 orang dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung , semakin mencoreng dunia peradilan . Dari sepuluh orang tersebut , satu di antaranya merupakan Hakim Agung , yakni Sudrajat Dimyati. Peristiwa  ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar benar mengkhawatirkan tak .kurang

dari 21 hakim terbukti melakukan praktek korupsi .


Dalam suatu kesempatan pada konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK ) Tahun 2016 di Gedung Balai Kartini , Jakarta , Kamis 1 Desember 2016 Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi tiga problem besar ,  pertama yang berkaitan dengan korupsi , kedua yang berkaitan dengan inefisiensi birokrasi dan ketiga yang berkaitan dengan ketertinggalan infrastruktur .


Dalam pernyataan Presiden mengisyaratkan bahwa korupsi merupakan musuh terbesar bangsa saat ini . Presiden mendukung penuh penguatan komisi pemberantasan korupsi , baik dari sisi kelembagaan maupun kemandirian . Reformasi internal di institusi kejaksaan dan kepolisian diharapkan menghasilkan penegak hukum yang profesional . Sehingga dalam pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif dan tidak berjalan sendiri sendiri .


Kepolisian dan kejaksaan Agung harus memperkuat sinergi dengan KPK . Namun kondisi terkini memperlihatkan bahwa penindakan para koruptor masih saja menunjukkan trend peningkatan , hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum selama ini ternyata belum sepenuhnya  pemberantasan korupsi harus di mulai dari hulu sampai ke hilir .


Pernyataan presiden Joko Widodo menunjukkan bahwa beliau dalam kondisi galau melihat kondisi korupsi yang telah terjadi di negeri ini . Karena usaha yang telah di upayakan belum mendapat hasil yang lmaksimal . Dalam pemberitaan di media massa  baik media cetak , elektronik , sampai media sosial mempertontonkan kepada masyarakat Indonesia perilaku korup para penyelenggara negara.Mereka telah merampok uang rakyat , melakukan suap maupun gratifikasi dengan tidak memperlihatkan sikap penyesalan dan malah seakan bangga menjadi tersangka . Begitu juga dengan para penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum justru ikut berpesta pora dalam penjarahan uang rakyat .


Apalagi ketika kasus korupsi ini di proses di peradilan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht ) tidak terbayangkan lagi , bagaimana sikap mereka ketika aparat penegak hukum memberikan vonis ringan . Baik' berupa hukuman pengembalian uang / denda maupun hukuman badan , seakan drama  baru saja di dimainkan dan berakhir dengan happy ending . Itulah kondisi hukum di negeri kita tercinta ini , yang konon hukum di anggap sebagai panglima . Sebagai mana dalam konstitusi kita disebutkan bahwa hukum Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat ) tidak berdasarkan kekuasaan belaka ( Machstaat ).


Sistem demokrasi yang merupakan bagian dari sistem kapitalis meniscayakan  adanya kaedah tujuan yang menghalalkan segala cara  untuk meraih keuntungan lebih utama , perubahan apapun yang mereka lakukan untuk memberantas korupsi secara tuntas tidak akan mereka dapatkan . Apalagi adanya politik transaksional , membuat reformasi hukum tak akan mampu menegakkan supremasi hukum .


Masalah korupsi di negeri demokrasi tidak akan selesai dengan baik kecuali kembali kepada aturan yang berasal dari Illahi Rabbi . Islam memberikan sejumlah hukum yang berat' kepada pelaku korupsi ,suap dan penerimaan komisi haram . Pada masa Rasulullah Saw pelaku kecurangan seperti korupsi , selain harta curangnya di sita , pelakunya di - tasyhir atau di umumkan kepada khalayak .


Pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin Khattab ra untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjadi pejabat . Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya , maka ia akan membagi dua hartanya dan memasukkan harta tersebut ke Baitul Mal .


Pelaku suap korupsi atau penerimaan gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan Qadhi sebagai ta'zir dalam sistem pidana Islam .


Pembrantasan korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan masyarakat di bangun atas dasar ketakwaan . Karena hukum berasal dari Wahyu , bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi . Dalam sistem demokrasi hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa di ubah sesuai kepentingan .


Korupsi marak di tanah air karena keserakahan para pelaku , lemahnya hukum dan mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi . Untuk menjadi kepala daerah saja seorang calon harus punya dana minimal 20 - 30 miliar . Padahal gaji yang mereka terima setelah menjabat kepala daerah hanya puluhan juta rupiah . pemilihan caleg di berbagai tingkat juga berbiaya tinggi . Semua inilah yang mendorong sejumlah kepala daerah dan anggota dewan ramai ramai korupsi .


Karena itu sudah saatnya seluruh umat Islam kembali ke pada syariat Islam kaffah yang datang dari Allah SWT  Sebagai bentuk ketakwaan individu ,  masyarakat bahkan bernegara Allahu Akbar .


Wallahu a' lam bi ash - shawwab