-->

Berdamai Dengan Musuh?

Oleh : Najmah Millah
(Pengasuh MT Asmaul Husna Malang)

Penamabda.com - Genderang perang melawan Covid-19 telah ditabuh oleh pemerintah. Ini setidaknya terekam dalam dua pidato Presiden Jokowi. Yang pertama, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar biasa G20, Kamis, 26 Maret 2020. Konferensi tersebut digelar khusus untuk seruan perang melawan corona. 

Jokowi mengajak para pemimpin negara G20 untuk bersama-sama memenangkan dua 'peperangan' yaitu melawan COVID-19 dan melawan pelemahan ekonomi dunia.
Yang kedua, pidato beliau saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non-Blok (GNB) pada Senin (4/5/2020) malam.“59 tahun lalu GNB didirikan untuk melawan 'musuh bersama' imperialisme dan neokolonialisme. Saat ini 'musuh bersama' kita adalah COVID-19,” kata Jokowi dalam keterangannya (kompas.com, 04/05/2020)

Selayaknya perang, Jokowi sebagai pemimpin lalu menyiapkan segala senjata untuk memenangkan pertempuran dengan musuh kasat mata bernama COVID-19. 
Mulai dari penerapan Social Distance (Pembatasan Sosial), (BBBDR-Bekerja,Belajar,Beribadah Di Rumah) 
terhitung sejak 15 Maret 2020. 

Kemudian pada tanggal 23 Maret 2020, pemerintah mengganti istilah Social Distancing Menjadi Physical Distancing sesuai dengan kearifan lokal. Dan terakhir per 30 Maret 2020 perang melawan covid-19 ini dibahasakan dengan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) disertai Darurat SIpil, yang disebut Jubir Presiden, Fadjroel Rachman, sebagai tahap baru perang lawan corona.

Penambahan kasus corona di Indonesia saat ini sudah 400-500 kasus per hari, bahkan per 20 Mei kemarin pertambahannya mencapai 600an lebih kasus. Pertambahan harian terbesar sepanjang ini. Dengan total kasus positif 19.189 orang dan 1.242 di antaranya meninggal dunia.

Saat perang berkecamuk, Jokowi tiba-tiba menyatakan berdamai dengan musuh yang membuat puluhan ribu orang terinfeksi dan ribuan meninggal. "Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19 untuk beberapa waktu ke depan” (kompas.com, 08/05/2020).

Pernyataan itu seperti titah untuk menarik seluruh pasukan dari laga peperangan: tenaga medis dengan hazmat, anggota gugus tugas, petugas laboratorium, peneliti virus, TNI/Polri di penjaga perbatasan, hingga masyarakat yang diam di rumah.

Seruan berdamai kembali diulang Jokowi pada pekan berikutnya. Kali ini dengan memakai argumentasi prediksi WHO yang menyatakan bahwa virus tidak akan hilang."Kita harus berdampingan hidup dengan COVID. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan COVID. Sekali lagi, yang penting masyarakat produktif, aman, dan nyaman" (detik.com, 17/05/2020).

Meski begitu, Jokowi menolak menyebut seruan berdamai itu sebagai sikap menyerah. Melainkan demi hidup yang produktif memasuki era 'the new normal'.

Pro Kontra Seputar Berdamai Dengan Covid

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menilai ungkapan Jokowi berdamai dengan Covid-19 adalah pengibaran bendera putih dalam perang melawan corona. 

Fadli mengatakan bahwa pemerintah telah meyatakan kalah perang melawan corona. Menurutnya, pemerintah telah putus asa memerangi COVID-19. Hal itu terbukti dari adanya sejumlah aturan yang tidak diterapkan hingga tuntas, berubah-ubah dan mencla-mencle.

Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, juga angkat bicara lebih menohok merespons pernyataan Presiden Jokowi yang mengajak masyarakat berdamai dengan virus corona. Menurut JK, virus corona sungguh tak bisa diajak berdamai karena resikonya adalah mati. 

Menurut JK, istilah yang tepat adalah kebiasaan hidup yang harus diubah selama wabah virus corona. Misalnya menggunakan masker, cuci tangan secara rutin dan hidup menurut protokol kesehatan lainnya. 

Kritik atas seruan pemerintah untuk berdamai dengan Covid-19 pun datang dari Ahli racun dari Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Suroso, dr. Tri Maharani menyarankan pemerintah siapkan protokol kesehatan ketat.Tri mengibaratkan, perang melawan Covid-19 sebagai perang yang berkepanjangan. 

Sebabnya tidak diketahui kapan pandemi ini akan berakhir karena vaksin yang belum ada. Karena itu, Ia menyatakan bahwa yang harusnya dilakukan adalah lebih fokus menyiapkan diri dalam peperangan yang panjang.

Artinya, bagaimana genjatan senjata sebagai tanda perdamaian akan terjadi sementara musuh masih mengibarkan bendera perang?

Alasan Dibalik Kata Damai

Ekonomi global saat ini sedang tersuruk akibat pandemi virus corona. Seluruh sektor mengalami kontraksi. Penyebab utamanya adalah pembatasan pergerakan manusia di seluruh negara untuk memutus penyebaran virus covid-19. Dana moneter dunia (IMF) pada April lalu menyebutnya lebih buruk dari great depression atau depresi besar yang terjadi pada 1930. IMF juga telah mengeluarkan peringatan resesi akan berjalan sampai 2021. Lembaga ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia sepanjang masa krisis terkontraksi 3%. Sementara pengangguran di Amerika Serikat (AS) diprediksi meningkat 10,4% pada tahun ini dan 9,1% pada tahun depan.

Kendati demikian, IMF memprediksi ekonomi global akan pulih pada 2021 dengan pertumbuhan mencapai 5,8%. Catatannya adalah pandemi mereda pada paruh kedua tahun ini atau sekitar bulan Juni. Bila tak mereda, maka pemulihan ekonomi menjadi semakin tak pasti. 

Bagaimana dengan Indonesia? Dimana kasus pertambahan terus meningkat dengan terbentuknya klaster-klaster baru. Artinya prediksi kapan pandemi ini berakhir belum diketahui pasti. 

Dampak yang langsung terasa bagi Indonesia adalah ketika rupiah tertekan di hadapan dolar AS, melemah pada level Rp 13.865. Pelemahan ekonomi Indonesia lainnya bisa terjadi karena Cina merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.

Berdasarkan data BPS Januari 2020, penurunan tajam terjadi pada ekspor migas dan nonmigas yang merosot 12.07%. Cina merupakan pengimpor minyak mentah terbesar, termasuk dari Indonesia. Dari sisi impor juga terjadi penurunan 2.71% yang disumbang turunnya transaksi komoditas buah-buahan.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan sekitar 0,23%, jika perekonomian Cina melemah 1% akibat wabah virus Corona.

Menteri BUMN Erick Thohir juga khawatir virus corona mengancam investasi di Indonesia. Padahal banyak negara, termasuk investor nontradisional seperti Uni Emrat Arab (UEA) akan melakukan investasi sebesar 18-20 miliar dolar AS atau sekitar Rp280 triliun untuk bidang energi, agrikultur, pendidikan, keuangan, infrastruktur, manufaktur, dan Sovereign Wealth Fund (SWF).

Berdalih belum ditemukannya suspect Covid-19, Indonesia malah mengundang wisatawan, yang tak mustahil berasal dari negara yang telah terinfeksi virus itu dalam rangka meningkatkan devisa negara.

Lebih parah lagi, dalam kondisi ekonomi Indonesia yang amat mengerikan –utang tembus Rp4.817 triliun, defisit transaksi berjalan kuartal III 2019 mencapai US$ 7,7 miliar, target penerimaan pajak tahun 2019 meleset Rp245,5 triliun– pemerintah harus menggenjot penerimaan dengan cara instant. 

Alasan Istilah berdamai dengan “musuh”(baca: Covid) diambil oleh pemerintah adalah kamuflase agar kegiatan ekonomi manusia berjalan dengan normal sehingga pertumbuhan ekonomi akan membaik. Disamping menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia yang sejatinya sudah diambang kehancuran.

Solusi Hakiki Bagi Indonesia

Berdamai dengan Covid adalah gambaran sikap abainya pemerintah saat ini. Sudahlah berlepas dari mengayomi masyarakat dengan menjamin kehidupan mereka saat pandemi, kemudian memberikan kebijakan yang mampu memutus rantai penyebaran virus secara serius sejak awal permasalahan. Kini di saat korban sudah berjatuhan, persebaran sudah tidak bisa dikendalikan justru pemerintah menyerukan agar kehidupan kembali normal. Kegiatan masyarakat dikembalikan seperti sedia kala agar roda ekonomi kembali berjalan meski dengan embel-embel memperhatikan protokol kesehatan.

Menjadikan masyarakat mesin uang dengan tanpa pengaman berjibaku menghadapi virus yang mematikan adalah gambaran betapa dzalimnya rezim yang ada saat ini. Kegagalan pemerintah Indonesia bukanlah kisah baru. Maka cara penanganan yang absurd pun ‘dimaklumi’ sebagai kegagalan yang berulang. 

Ketergantungan atas peran asing dalam menentukan ekonominya, menjadi latar belakang utama jebloknya ekonomi negeri ini. Terlebih lagi, ketergantungan menjadikan Kapitalisme sebagai sandaran ekonomi.

Padahal dalam Islam, penguasa itu adalah pengayom rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Di sinilah dibutuhkan politik ekonomi Islam yang mengatur perekonomian negara. Bukan seperti sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Di mana menjadikan imperialisme sebagai metode memperkaya diri. Mendahulukan keuntungan yang sebesar-besarnya sekalipun menindas negara lain.

Sungguh, hanya satu solusinya, yaitu menjadikan Islam sebagai Ideologi. Yang dengannya akan diterapkan politik ekonomi Islam, sehingga memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Termasuk bagi Indonesia, khususnya. Sistem yang hanya dapat ditegakkan dalam bingkai institusi Khilafah Islamiyah-lah, bukan yang lain.