Dengan cara yang sangat halus mereka terus mengopinikan bahwa semua agama benar, karena semua agama mengajak kepada kebaikan, mereka melarang menyebut kafir kepada selain Islam.
Padahal telah jelas dalam Alquran bahwa selain muslim adalah kafir. Seorang muslim dituntut harus bertoleransi dengan pemeluk agama lainnya, bahkan mengucapkan selamat di hari raya selain agamanya pun tidak dianggap sebagai penyimpangan dari Islam.
Propaganda-propaganda dan jargon-jargon yang nampaknya bijaksana atau menyejukkan sengaja disebarkan ke tengah-tengah umat, semisal “Islam damai”, “Islam mencintai perdamaian”, “Islam mengajarkan kerukunan” dan sebagainya, sesungguhnya merupakan racun berbalut madu yang bisa membunuh karakter din Islam yang sesungguhnya dari benak kaum muslimin.
Beberapa waktu yang lalu propaganda semacam ini pun kembali muncul:
“Moderasi agama sama sekali bukan terletak pada apakah agamanya. Melainkan terkait dengan cara bagaimana beragama yang lebih menekankan pada sikap tengah-tengah atau wasathiyah. Pada akhirnya, cara keberagamaan demikian akan berdampak pada sikap toleran. Dan secara langsung akan berefek pada pengurangan Islamofobia di dunia.”
Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI) Jenderal TNI Purn Fachrul Razi ketika jadi pembicara pada Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah ke-48 bertajuk “Ekstremisme Sosial-Keagamaan dan Perdamaian Semesta”, yang berlangsung di UHAMKA, Sabtu (14/03/2020).
Sepintas memang pernyataan ini sepertinya baik-baik saja, seperti tidak ada yang salah, bahkan bisa jadi sebagian kalangan menilai pernyataan tersebut sebagai pernyataan yang ‘positif’. Akan tetapi, jika kita perhatikan dengan seksama, maka kita akan temukan bahwa pernyataan ini bukan pernyataan biasa-biasa saja.
Ini adalah pernyataan yang membahayakan umat, racun berbalut madu lagi. Pernyataan ini mengandung pengertian memisahkan agama dan cara bagaimana cara beragama, dengan kata lain menekankan pemisahan kehidupan beragama dari agamanya, yang intinya tidak lain adalah sekuler, sekulerisasi Islam.
Jika pernyataan ini ditujukan kepada Islam, maka ini sama saja dengan mutilasi agama Islam. Bagaimana mungkin Islam sebagai diin syamilan wa kaamilan, yang datang dari Allah SWT dianggap tidak mengatur bagaimana cara beragama umatnya?
Sekali lagi… pernyataan yang sembrono, sama saja dengan mutilasi agama Islam, mengerat-kerat Islam.
Islam Diin Sempurna, Mengatur Seluruh Aspek Kehidupan
Innadiina ‘indallaahi al-Islam. Hanya Islam din yang diridai Allah. Islam merupakan din yang sempurna, yang seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapan pun, telah memberikan aturan-aturan dengan terperinci, sehingga seluruh problematik hidup makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apa pun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satu pun yang dirugikan, karena aturan-aturan tersebut senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia.
Dan pada ahirnya menentramkan jiwa. Mengapa? Karena Islam lahir dari Dzat yang menciptakan manusia yang Maha Mengetahui hakikat makhluk yang diciptakannya, bukan buatan manusia.
Mahaadilnya Allah telah memberikan aturan yang sedemikan rinci untuk hamba-Nya, yang dengan aturan-aturan tersebut manusia dapat menjalani kehidupan ini dengan benar dan teratur, dan pada akhirnya akan bisa membawa kepada kebahagiaan.
Aturan-aturan ini dijadikan sebagai pijakan sehingga kita mampu terus melangkah tanpa ragu atau bingung, tetapi justru bersemangat dalam menjalani kehidupan. Karenanya Allah memerintahkan kita, umat Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya, kaaffah sehingga akan membawa kepada kebahagiaan yang sesungguhnya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِين
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Telah sangat jelas sesungguhnya tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput, seluruhnya diatur oleh Islam, dari mulai bersuci hingga pun penyelenggaraan negara, seluruhnya diatur oleh Islam.
Kita diajarkan oleh Islam ketika masuk kamar mandi dengan kaki kiri sambil membaca doa tertentu, diajarkan cara bersuci seperti apa, kemudian keluar kamar mandi dengan kaki kanan dan membaca doa tertentu pula.
Kita pun diajarkan bagaiman bermuamalah dengan sesama manusia hingga kita diajarkan oleh Rasulullah SAW bagaimana seharusnya membangun negara, mendirikan khilafah dan bagaimana seharusnya memperjuangkan tegaknya Khilafah serta bagaimana penyelenggaraan sebuah negara, tugas-tugas khalifah sebagai kepala negara, fungsi aparatur negara, dan sebagainya.
Masyaa Allah… luar biasa! Sungguh beruntung kita sebagai seorang muslim. Seluruh aspek kehidupan diatur oleh Islam. Artinya, tidak ada satu pun aspek kehidupan yang terpisah, yang lepas dari Islam.
Demikian hal dengan cara beragama, bagaimana mungkin dipisahkan dari agamanya, jika berkaitan dengan bersuci saja diatur. Islam mengatur sedemikian rinci bagaimana seharusnya bersikap dengan sesama muslim dan juga dengan para penganut selain Islam.
Islam Mengatur Cara Beragama Secara Rinci
Tidak ada satu aspek kehidupan pun yang lepas dari aturan Islam, demikian halnya dengan kehidupan beragama. Islam mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim bergaul dalam hidup bermasyarakat, baik dengan sesama muslim maupun dengan selain muslim.
Dalam negara Islam -daulah khilafah- setiap warga negara baik muslim maupun nonmuslim (kafir dzimmiy), mendapat hak yang sama. Negara tidak membeda-bedakan individu rakyat dalam aspek hukum, peradilan, maupun dalam jaminan kebutuhan rakyat dan semisalnya. Seluruh rakyat diperlakukan sama tanpa memperhatikan ras, agama, warna kulit, dan lain-lain (Pasal 6 Masyru’ud dustuur).
Tidak ada paksaan bagi nonmuslim untuk memeluk Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Baqarah 256: “Laa ikraaha fiddiin, qod tabayyana rusydu minal ghayyi.” (“Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam, sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat”).
Hanya saja, negara memberlakukan syariat Islam atas seluruh rakyat yang berkewarganegaraan (Khilafah) Islam, baik muslim maupun nonmuslim. Nonmuslim dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah perlindungan peraturan umum. Dalam hal makanan minuman, dan pakaian, diperlakukan sesuai dengan agama mereka, sebatas apa yang diperbolehkan hukum-hukum syara’.
Demikian halnya terkait nikah dan talak antara sesama nonmuslim diselesaikan sesuai dengan agama mereka. Dan jika terjadi diselesaikan menurut hukum Islam.
Inilah yang dimaknai sebagai “tasamuh” (toleransi) dalam Islam. Bukan ikut merayakan hari raya mereka, menganggap agama selain Islam benar, atau bentuk toleransi yang kebablasan lainnya.
Islam memberi batasan-batasan bagaimana bersikap terhadap orang-orang kafir. Allah SWT telah mengharamkan berloyalitas terhadap orang-orang kafir, tidak boleh mengikuti ajaran mereka dan ikut merayakannya, serta menjadikan mereka sebagai teman ataupun sahabat.
Karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin, sekaligus Allah SWT telah mewajibkan untuk berloyalitas hanya kepada Allah dan RasulNya serta terhadap orang-orang yang beriman serta mencintai mereka.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan Nasrani sebagai kekasih/teman dekat(mu); sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” (QS al-Maa-idah:51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai kekasihmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai kekasih, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS at-Taubah:23).
Sabda Rasulullah SAW:
“Janganlah kalian tinggal bersama orang-orang musyrik, jangan pula bergabung dengan mereka. Barang siapa tinggal dan bergabung bersama mereka, dia bagian dari mereka.” (HR al-Hakim 2/141—142, dari Samurah bin Jundub)
Allah berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang”. (QS Al-Maidah: 55-56).
Demikian pula sabda Rasulullah SAW:
“من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان”
“Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena-Nya, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (HR Abu Dawud (no. 4681) dan al-Hakim (no. 2694)
Namun, meskipun Islam memerintahkan untuk memusuhi orang-orang dan bangsa kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam dan kaum muslimin, dan selanjutnya tidak boleh bekerja sama dengan mereka, akan tetapi Islam pun mengharamkan berbuat zalim terhadap mereka tanpa alasan yang haq.
Islam menghormati hak-hak orang-orang kafir mu’ahad (yang sedang dalam perjanjian damai), dzimmiy (orang-orang kafir yang tinggal sebagai warna negara khilafah dengan membayar jizyah), musta’man (orang kafir yang meminta perlindungan dari khilafah).
Islam mengharamkan darah dan harta benda mereka. Islam juga memberikan hak-hak dan kewajiban yang sama kepada mereka, sebagaimana hak dan kewajiban kaum Muslimin.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya.” (QS An-Nahl: 91). “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya”. (QS Al-Isrâ’: 34).
Demikianlah, Islam telah dengan sangat rinci mengatur bagaimana kehidupan beragama, sama sekali tidak memisahkannya dan tidak boleh memisahkannya dari Islam. Karenanya upaya memisahkan kehidupan beragama dari agama Islam sama saja dengan mutilasi agama Islam. Wallahu a’lam bishshawwab.
Sumber : MuslimahNews.com
Posting Komentar