Pedasnya Harga Cabai, Pengaruh Faktor Alam?
Oleh : Tri Melinda (Muslimah Bangka Belitung)
Dalam seminggu terakhir harga cabai semakin pedas. Ramai media massa melansirnya. Rata-rata menembus harga di atas Rp 100.000 per kilogram. Terjadi serentak di berbagai daerah. Seperti Jakarta timur, Surabaya, Kendal, Semarang, termasuk Bangka Belitung.
Di Kota Pangkalpinang, hanya berselang beberapa hari mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga mencapai Rp 110.000 per kilogram. Padahal beberapa hari lalu harga ecerannya dikisaran Rp 85.000 sampai Rp 90.000 per kilogram.
Hal sama juga terjadi di Kabupaten Belitung. Harga cabai di sejumlah pasar tradisional mencapai Rp 135.000 per kilogram (bangka.tribunnews.com, 23/2/2021).
Menurut Ulpi Hariyanto dari Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan Kota Pangkalpinang, kenaikan harga cabai disebabkan adanya kendala distribusi cabai dari pulau Jawa. Banjir di beberapa daerah di Jawa, menjadikan pasokannya minim dan menghambat transportasi distribusinya (bangka.tribunnews.com, 24/2/2021).
Bukan kali ini saja saat terjadi kenaikan bahan pangan pertanian, alasan ‘klasik’ yang dikemukakan adalah faktor alam. Alasan ‘klasik’ ini seakan membenarkan teori ekonomi kapitalis, supply and demand. Teori ini menjelaskan bahwa harga ditentukan supplay (penawaran) dan demand (permintaan) terhadap barang dan jasa tersebut. Apabila barang dan jasa yang ditawarkan jumlahnya melimpah, permintaannya sedikit, maka harga akan turun. Sebaliknya barang dan jasa yang ditawarkan jumlahnya sedikit, permintaannya besar, maka harga akan naik.
Menelisik lebih mendalam, kenaikan harga sebenarnya dominansinya lebih disebabkan karena mahalnya biaya input produksi. Hal ini juga diungkapkan oleh Dosen Agroteknologi Universitas Bangka Belitung Deni Pratama. Beliau menjelaskan pemicu harga cabai mahal disebabkan harga input produksi seperti pemberian pupuk dan pestisida, yang tak murah (bangka.tribunnews.com, 23/2/2021).
Harus diakui biaya untuk bertani sangat besar. Tidak hanya cabai, tapi mayoritas tanaman hasil pertanian. Biaya lahan, pupuk, tenaga, obat-obatan, benih dan alat pendukung produksi mahal. Realitas hari ini sebagian besar petani tidak memiliki lahan sendiri. Lahan pertanian kebanyakan dimiliki oleh perusahaan besar dan tuan tanah pribadi tertentu. Banyak petani yang harus sewa lahan untuk bertanam. Tentu saja hal ini menambah biaya produksi.
Harga benih juga tinggi. Petani harus menyediakan sendiri benih tersebut. Jarang sekali mendapatkan subsidi benih dari pemerintah. Pun sama dengan harga pupuk dan obat-obatan. Banyak petani mengeluhkan mahalnya pupuk. Tidak hanya mahal tapi juga kadang langka di pasaran. Hama dan penyakit musuh petani pun sulit teratasi. Karena harga obat-obatan sangat menguras kantong petani.
Tak dipungkiri pemerintah lepas tangan dalam pengaturan input produksi pertanian ini. Lantas menyerahkan sepenuhnya pada kemandirian petani dan mekanisme pasar. Ketika biaya produksi tinggi, petani pun melakukan penyesuaian harga.
Tapi mirisnya yang sering terjadi, saat panen tiba harga di pasaran tidak memenuhi standar sehingga para petani merugi. Harga rendah di pasaran ini seringnya dipicu karena pemerintah melakukan impor saat panen raya dalam negeri tiba. Sehingga stok di pasaran melimpah yang membuat harganya jatuh. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan para petani tidak bergairah lagi dalam bertani.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah kurang peduli nasib para petani. Jerih payah dan kemandirian para petani menanggung biaya input produksi, tak sebanding dengan kesejahteraan yang harusnya didapatkan. Ini juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga produksi pertanian. Slogan swasembada pangan di negeri ini hanyalah jargon pencitraan belaka. Lepas tangan dan keberpihakan pemerintah pada perusahaan/pemilik kapital dalam sektor pertanian, bukti kebijakan negara tercengkeram sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah terfokus pada perhitungan untung dan rugi dalam pengaturan urusan rakyat, bukan pada kesejahteraan rakyat.
Solusi Islam
Islam sebagai satu-satunya dien yang sempurna, memiliki seperangkat aturan solutif terhadap problematika kehidupan. Termasuk masalah kenaikan harga produk pertanian. Pertanian dalam Islam melibatkan peran negara sebagai pengatur dan pengurusnya dari hulu sampai ke hilir. Terkait dengan input dan output produksi pertanian, beberapa kebijakan dalam Islam, antara lain :
Pertama, masalah lahan. Negara memberlakukan kebijakan kepemilikan tanah mati bagi yang menghidupkan dan mengelolanya. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud, yang artinya : “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”.
Juga memberlakukan penghilangan kepemilikan bagi pemilik tanah pertanian yang menelantarkan tanah miliknya tanpa dikelola selama tiga tahun berturut-turut. Kebijakan ini dapat mengatasi kelangkaan kepemilikan tanah bagi para petani. Sekaligus menjadikan tanah tetap produktif.
Kedua, negara turun tangan memberikan bantuan secara langsung atau subsidi berbagai fasilitas utama dan penunjang pertanian. Baik berupa modal, benih, pupuk, obat-obatan, dan teknologi. Karena dalam baitul mal terdapat diwan ‘atha (seksi santunan) yang memang menangani masalah bantuan dan subsidi tersebut. Sumber pendapatannya diambil dari kepemilikan negara (fa’i dan kharaj). Tujuannya mendorong petani melakukan intensifikasi dan ekstentifikasi pertanian. Dengan ini negara pun mampu berswasembada pangan. Sehingga tidak ada ketergantungan pada asing yang beresiko dijajah secara ekonomi dan politik seperti saat ini.
Ketiga, mengkondisikan harga komoditas pertanian sesuai mekanisme pasar secara alamiah. Wujud pasar dalam Islam, merupakan refleksi dan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Islam mengatur bagaimana keberadaan pasar tidak merugikan antara satu dengan yang lain. Harga komoditas pertanian tergantung kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran secara alamiah antara para petani dan konsumen. Kesepakatan harga antara keduanya terjadi secara sukarela, tanpa paksaan. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisaa ayat 29).
Negara juga tidak mematok harga untuk umum, karena Allah SWT telah mengharamkannya. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Anas r.a. yang mengatakan:
“Harga pada masa Rasulullah SAW pernah membumbung. Lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini Engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini)’. Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allahlah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki, Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak seorang pun yang menuntutku karena sesuatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah” (HR. Ahmad).
Untuk memastikan berjalannya aktivitas ekonomi di pasar sesuai syari’at Islam, negara menempatkan qadhi hisbah (al-muhtasib). Al-Muhtasib inilah yang memiliki kewenangan memberikan putusan dalam berbagai penyimpangan terhadap syaria’t secara langsung, tanpa memerlukan sidang pengadilan. Sejumlah polisi ditetapkan berada di bawah wewenangnya untuk mengeksekusi perintahnya dan menerapkan keputusannya saat itu juga.
Begitulah politik pertanian (input dan output) yang diatur dalam Islam. Hal ini akan berjalan jika sistem Islam diterapkan dalam tatanan bernegara. Sebagaimana Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya telah menerapkannya.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Posting Komentar