-->

Covid-19 ; Dilema dan Rindu

Oleh : Shafiyya Khaira (Mahasiswi, Aktivis Dakwah)

Penamabda.com- Dilema. Bagaimana tidak? sosial media semakin ramai membincangkan tentang wabah yang pertama kali menyapa kota Wuhan, Cina. Sedih rasanya ketika memandangi layar tak bernyawa, notif terus bersahutan berita kematian dan korban positif semakin menjadi, pun tenaga medis mulai kewalahan. 

Ya, Allah semoga cepat berakhir Gumamku disela menikmati santapan sederhana malam itu, khawatir pasti tapi masih ditepis oleh jauhnya jarak antara negeri ini dengan Negara Tirai Bambu.
Namun kini, wabah itu tak hanya bertahan disana. Indonesia pun turut dihampirinya. Was-was mulai menyapa tatkala negeri mulai dirundung duka. Tak bertahan sampai disana, tepatnya 17 Maret 2020 di Universitas tempatku menimba ilmu sudah dikeluarkan kebijakan untuk kuliah sistem daring. Beberapa hari sebelumnya sudah menjadi obrolan di WAG (WhatsApp Grup) kelasku, karena beberapa Universitas sudah memberlakukan hal ini. Mereka  mendiskusikan bagaimana kalau itu juga berlaku di Universitas kami, aku hanya menyimak sambil mengusap layar dan tak membayangkan hal ini terjadi.

Setelah kabar itu diterima, sorak bertaburan lewat stiker chat WhatsApp. Membayangkan perkuliahan dapat dinikmati dengan santai, tanpa harus keluar rumah dan bisa sekalian pulang ke kampung halaman. Awal-awal perkuliahan sudah ngos-ngosan. Banyak aktivitas baru yang mulai digandrungi, siap tidak siap tugas harus jadi dan dikirim tepat waktu. 
Tugas membuat video dengan deadline 2 x 24 jam membuat aku berfikir keras. 

Mencari materi dan memikirkan aplikasi yang harus digunakan. Akhirnya setelah mempersiapkan materi yang ku kemas dalam Powerpoint sederhana siap dieksekusi. Setelah sholat isya mulailah pengambilan video dimulai. Laptop temanku jadi korban, karena aplikasi yang ku perlukan tersedia disana. Berulang kali gagal, pembuatan  video  yang penuh drama. Lighting dengan sinar ponsel seadanya, teman satu kos harus menyaksikan bisingnya diriku bak presenter dilayar kaca. Masalah tak pede yang biasa muncul coba ku tepis, tak dihiraukan lagi. Mengingat besok deadline jam 08.00 wita. Akhirnya jadilah video tutor sederhana yang menjelaskan tentang titrasi, meski ada yang salah dalam video itu sudah tak ku perdulikan. Mau editing harus download aplikasinya lagi. 

Waduh hampir tengah malam, kirim gini aja yang penting jadi Pikirku pendek.
Akhirnya selesailah tugas pertama penuh behind the scene, benar-benar menantang dan membuat diriku berfikir keras menyelesaikannya. Langsung ku luncurkan hasilnya saat itu juga. Barulah kemudian bisa memejamkan mata. Keesokan harinya notif kembali bersahutan di WAG kelas ku.

Ya Allah, tugas oh tugas. Selesai satu tumbuh seribu Komen Rani dengan stiker cemberutnya.
Ini kuliah online atau tugas online sih sebenarnya Ungkap Denis dengan kesal.
Bener banget, harusnya kalau kuliah online tetep kaya biasa dikelas kan. Cuman sistemnya aja yang jadi online, kalau ini mah gimana coba? Timpal Key dengan nadanya yang khas.

Aku hanya tersenyum setiap menatap layar penuh sinar itu, sesekali memegang perut menahan tawa olah tingkah mereka yang semakin menjadi. Perang stiker, status WA bertaburan dan pada akhirnya mereka merindukan suasana kuliah seperti hari biasanya. Mereka mengakui walaupun bisa pulang kampung, tetap saja tak bisa menikmati karena tugas terus bersilaturahmi. Ya wajar, karena perkuliahan memang  tetap jalan dan bukan masanya liburan.

***

Rumah keduaku mulai murung, ruang tengah yang biasanya penuh diskusi hangat berseling tawa itu kini tak terdengar walaupun hanya bisiknya. Rindu dengan info yang biasanya dibawa anak-anak Kos Muslimah Tamannaw ini. Sebelum kuliah sempat membayangkan bagaimana harus berpisah dari orang tua, dan tinggal bersama mereka yang kurang ku kenal. Akhirnya tak terasa tiga semester berlalu, suasana kos layaknya rumah yang dihuni kakak dengan adik-adiknya. Tamannaw harap kami keluar dari kos itu membawa cita yang sudah terwujud. Tak hanya menjadi seorang intelektual, tapi juga seorang intelektual muslimah yang siap mengurai problematika umat. 

Rindu mendengar cerita Maira layaknya episode drama yang tak berujung, selalu ada cerita yang ia tuturkan. Kocaknya tingkah ka Lian yang kadang membuat orang bingung dibuatnya. Bagaimana tidak, pernah ditengah seriusnya kami menikmati santapan hari itu.

Hemb, eh tidak-tidak. Astaghfirullah Ungkapnya memecah keheningan.
Sontak semua menatap padanya, dengan raut bingung dan beragam penafsiran. Ada yang langsung introspeksi diri, kali aja ada yang salah pada dirinya. Dan ada pula yang vokal dan langsung menanyakan.
Kenapa sih Lian, kok tiba-tiba gitu. Ada yang salah denganku atau yang lain? Ungkap ka Aida penasaran.
Ee, e nggak papa kak Kata Ka Lian sambil cengengesan.

Ka Lian memang suka gitu, kadang ada ia teringat sesuatu dan dia langsung ekspresif , seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Dan jadilah orang-orang setengah kesal dan penasaran dibuatnya.

***

Entah kapan pandemi ini berlalu. Rindu sholat berjamaah dengan shaf yang memenuhi ruang tengah, kini jamaahnya hanya tinggal dua atau tiga orang saja. Banyak yang sudah kembali ke kampung halaman dan sisanya ada yang kedatangan tamu bulanan sehingga tidak bisa ikut sholat.

Belum usai libur dua minggu, kembali datang notif dari WAG prodiku, ka Yoga selaku admin Prodi mengabarkan bahwa ada surat pemberitahuan terbaru dari Universitas kalau libur diperpanjang hingga 8 April. Tekadku untuk tidak pulang kampung mulai goyah, ia mulai meronta untuk pulang. Tapi berat rasanya jika harus pulang di tengah situasi  seperti ini. Ditambah lagi kalau harus pulang naik angkutan umum, bertemu banyak orang satu mobil dan di jalanan. Sehingga tidak bisa dipastikan aman dari gangguan si virus. 

Keesokan harinya, kembali rindu membuncah. Setelah menerima beberapa pesan dari sohibku. Mereka menanyakan apakah aku masih stay di kos atau sudah balik. Ada salah satu temanku yang tinggal di asrama, bahkan asrama diminta dikosongkan tuturnya, sehingga semakin membuat ia dilema untuk pulang ditambah lagi Ibunya terlanjur mengabarkan kalau ia akan pulang, tak tega katanya jika ia harus menyaksikan kekecewaan wajah-wajah mungil yang menantikan kehadirannya.

Pikirku langsung melayang pada tiga krucil di rumah, lama rasanya tak bertemu. Pun dengan Ummi dan Abi, juga si jagoan ku yang mulai beranjak remaja. Si sulung ini berulang kali memikirkan apakah ia harus pulang atau tidak. Sesekali ku telpon via video WA jika ingin mengobati rindu, tapi ya lagi-lagi kendala sinyal membuat video terus terjeda hingga akhirnya putus. 
Terus ku ikuti informasi terupdate di kabupaten tempat aku tinggal. Semakin memprihatinkan, status ODP (orang dalam pengawasan) terus meningkat hingga melampaui 50 orang. Alhamdulillahnya belum ada yang positif. 

Bagaimana dengan agenda dan amanah dakwah, jika pulang pastinya harus punya bank kuota yang cukup, ditambah lagi tidak stabilnya sinyal, project dakwah yang cobaku geluti, kulwap-kulwap yang sudah didaftar, juga pengiriman tugas dan pencarian bahan kuliah. Ya, Allah. Haruskah pulang  jadi pilihan demi bertemu dengan wajah-wajah yang senyumnya aku rindukan. Atau tetap bertahan demi menghadapi wabah yang kini berlarian gumamku sembari menatap dinding kamar dan sesekali menunggu notif untuk info terbaru. 

Juga terngiang sebuah pesan dalam menghadapi wabah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan dalam hadits dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا. متفق عَلَيْهِ

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu. (HR. Bukhari, no. 3473 dan Muslim, no. 2218)

Diskusi masih terjadi, banyak pertimbangan yang kini langkahnya mencoba disusuri. Membaca situasi hingga dia sering kali bertengkar dengan egonya sendiri. Meski rindu semakin menjadi ditambah dilema ikut berpartisipasi. Sementara diputuskan untuk tetap disini. Hingga kondisi bisa bertemu langkah yang pasti. Ada kalanya rindu harus dilawan, demi amanah yang dipercayakan pun juga tidak menzhalimi mereka yang ditinggalkan. Ketika memilih jalan ini, semua harus siap untuk diduakan. Prioritas yang harus didahulukan, demi terukirnya jejak sebuah peradaban. 

Pun rindu nanti akan bertemu, sebentar lagi Ramadhan. Mudah-mudahan syahdunya malam kemuliaan dan gema takbir dapat dilalui bersama mereka tanpa bayang-bayang wabah yang kini bertandang. Semoga tentara kecil itu cepat pulang, agar anak rantau ini bisa kembali ke tanah kelahiran dengan senyum lega tanpa dilema dan rindu tertunaikan.

Salam rindu untuk Abi dan Ummi, maafkan kakak belum bisa pulang. Khoiru si jagoanku, jangan latihan terus ya bro ingat jangan lupa jaga kesehatan dan kemenangan yang kau impikan Allah kabulkan. Juga untuk tiga krucil Sholehah Akak, jangan bandel stay at home. Semoga Allah melindungi kita semua dan semua ini cepat berlalu.

Dariku,

Aisha Humaira