-->

Relaksasi PSBB ; Kebijakan Serampangan Rezim Kapitalis

Oleh : Ummu Farras (Aktivis Muslimah)

Penamabda.com - Dilansir dari detik.com, Skenario menghadapi situasi normal baru atau new normal di tengah pandemi virus corona (COVID-19) tengah dibahas pemerintah dalam upaya mengembalikan kondisi ekonomi dengan cara berdamai dengan wabah tersebut.

Pada rapat terbatas (ratas) Senin (18/5) lalu, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, pemerintah sedang mengkaji pengurangan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai langkah mengenai percepatan penanggulangan COVID-19.

Hal ini pun menimbulkan pro kontra dari masyarakat. Ekonom senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini juga mengkritik keras langkah pemerintah ini yang dianggap sebagai wacana pelonggaran PSBB.

Menurut Didik, kebijakan ini sama saja menjerumuskan rakyat Indonesia ke jurang kematian. Pasalnya, ia menganggap pelonggaran PSBB ini sama saja dengan menuju herd immunity (kekebalan kawanan) dengan cara berbahaya.

"Ini bisa dianggap sebagai kebijakan pemerintah menjerumuskan rakyatnya ke jurang kematian yang besar jumlahnya," ungkap Didik dalam keterangan resminya, Rabu (20/5/2020).

Sungguh sangat miris. Sedari awal wabah corona melanda Indonesia, tak satu pun kebijakan pemerintah yang serius menekan penyebaran virus. Dari mulai kebijakan social dan physical distancing, rapid test, impor jutaan obat malaria, pembebasan narapidana di tengah wabah, dan yang terakhir PSBB, ini semua merupakan solusi tak solutif dari pemerintah. Bahkan solusi solusi ini cenderung menimbulkan masalah baru di tengah wabah yang membuat negeri ini semakin semrawut. Alih-alih virus dapat ditekan penyebarannya, justru sebaliknya malah semakin meluas dan korban bertambah banyak. Bahkan berdasarkan data, rekor tertinggi tanggal 21 Mei 2020, sehari penambahan kasus positif corona hampir mencapai 1000 orang.

Parahnya, di saat kurva korban wabah di Indonesia semakin meningkat, pemerintah malah melakukan relaksasi atau pelonggaran PSBB. Moda transportasi pun di aktifkan kembali. Tak pelak, hal ini berdampak serius terhadap keadaan di tengah tengah masyarakat. Kerumunan mulai terjadi dimana-mana. Di pasar, di pusat perbelanjaan, begitupun di Bandara dan juga di jalan darat. Pemudik mulai mengular memadati jalan jalan. Dilansir dari tempo.co, Ratusan ribu kendaraan sudah meninggalkan Jakarta untuk mudik di masa pandemi corona. PT Jasa Marga (Persero) Tbk. mencatat total 306.682 kendaraan meninggalkan Jakarta melalui arah Timur, arah Barat dan arah Selatan pada periode H-7 sampai dengan H-4 Lebaran 2020 atau 17-20 Mei 2020.

Bisa dibayangkan, dengan banyaknya aktivitas di tengah wabah ini, akan membuat laju wabah corona semakin meluas. Korban pun akan semakin banyak. Inilah kebijakan serampangan rezim kapitalis. Setiap kebijakan yang diambil, tolok ukurnya adalah materi semata. Wabah ini telah memukul mundur perekonomian global, termasuk Indonesia. Maka, pemerintah mengambil kebijakan pelonggaran PSBB untuk mulai memulihkan laju perekonomian negeri. Tapi, sungguh tidak manusiawi, jika kebijakan memulihkan laju perekonomian, tetapi di sisi lain menumbalkan nyawa rakyatnya.

Jika menurut ekonom senior Didik J Rachbini, kebijakan ini sama saja menjerumuskan rakyat Indonesia ke jurang kematian, maka patut diduga itu dapat dikatakan benar. Sebab, Rezim Kapitalis saat ini dinilai lebih mementingkan perekonomian daripada keberlangsungan hidup dan nyawa rakyatnya. Sungguh, tak dapat lagi kita berharap terhadap pemimpin dan para penguasa saat ini. Alih-alih melindungi rakyatnya dari gempuran wabah, malah mengorbankan rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang serampangan.

Pemimpin di sistem kapitalis amat jauh berbeda dengan para pemimpin di sistem Islam (Khalifah). Keberadaannya adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Jika kita cerdas menilik sejarah, akan kita dapati bahwa dalam sistem Islam, setiap langkah dan kebijakan yang diambil pemimpin adalah untuk kemaslahatan rakyatnya. Harmonisasi dan sinergi pun terjalin dalam setiap kondisi. Pun saat terjadi pandemi.

Saat terjadi wabah di era Khilafah, Umar bin Khaththab meminta masukan dari Amru bin Ash, hingga akhirnya mengambil solusi untuk memisahkan interaksi (metode karantina). Maka, tak lama kemudian wabah itu selesai. Dalam kasus di Amwash, Umar mendirikan pusat pengobatan di luar wilayah itu. Membawa mereka yang terinfeksi virus itu berobat di sana. Dari sini terlihat strategi jitu hadapi wabah dari seorang pemimpin.

Antara negara dan rakyat, sama-sama saling mendukung untuk hadapi pandemi. Namun, hal ini hanya akan terwujud jika didukung oleh kepemimpinan yang betul betul mengurusi rakyat dan mengutamakan kemaslahatan bagi seluruh rakyatnya seperti yang terjadi ketika Syariat Islam diterapkan dalam naungan Khilafah. Tidak dalam sistem kapitalisme yang jelas tak ada keberpihakannya terhadap rakyat.

Wallahu'alam bisshowwab